Bab 26: Kura-Kura di Langit

21 2 0
                                    

Aku mendarat di rumput setelah melakukan serangan terakhir kepada Ogre. Kepala monster itu terlempar ke udara, jatuh lalu menggelinding entah kemana. Sementara, tubuh raksasanya jatuh ke tanah dan menimbulkan suara bedebam keras.

Tring!

[Quest: Bunuh Ogre (1/1)

Reward: Ogreskin Chestplate, Ogrescale Strider, Ogreron Helmet, Portable Cauldron, Sledgehammer Repair, Premium Kit Chest, Status Point +15]

[Anda telah naik level!]
[Anda telah naik level!]
[Anda telah naik level!]

[Anda memperoleh Ogre's Eye x2]
[Anda memperoleh Ogre's Meat x10]
[Anda memperoleh Ogre's Tongue x1]
[Anda memperoleh Goblin Crown x1]

Aku mengabaikan suara-suara dari pesan sistem yang masuk. Sambil berdiri, aku berbalik untuk melihat mayat raksasa itu. Kemarahanku belum mereda. Aku berteriak dan melancarkan serangan yang tercampur oleh luapan emosi. Tubuh monster itu kupotong-potong sampai bagian terkecil.

Teriakanku membahana memecah kesunyian di tempat itu. Di kepalaku terbayang ekspresi ketakutan Tante Tara saat monster ini melakukan kopulasi padanya.

"Monster sialan! Sialan! Sialan!" makiku berkali-kali.

Kedua tanganku berhenti bergerak, aku tersadar bahwa sudah tidak ada lagi bagian dari tubuh monster itu yang bisa kuhancurkan.

Aku melangkah menuju tebing di ujung dataran itu, pandanganku bertemu dengan bentang laut yang luas. Langit cerah dengan sedikit awan bergulung, angin menerbangkan poni rambutku yang acak-acakan. Dadaku naik turun, mengatur napas yang tidak beraturan.

Aku berhasil mengalahkannya, tapi hatiku tidak senang. Aku merasa gagal menyelamatkan Tante Tara. Ia terluka, batin dan fisik. Entah bagaimana caraku nanti menghiburnya. Chika juga pasti sangat terpukul.

Langkahku berat untuk kembali ke portal, belum siap menghadapi kesedihan yang menanti. Aku memutuskan untuk rebahan dulu di atas rumput, sambil menikmati semilir angin yang berhembus.

Rasanya sungguh nyaman sampai aku memejamkan mata. Situasi ini terasa sangat damai.

Kulitku yang terkena paparan sinar matahari hangat tiba-tiba terasa lebih dingin. Aku membuka mata, tubuhku sudah tertutup oleh bayangan. Mataku tidak bisa melihat langit karena terhalang oleh sesuatu. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan tidak salah lihat.

"Itu.. apa?"

Mataku membelalak seketika. Kakiku dengan cepat berdiri kembali. Awalnya, kukira bayangan gelap yang menutupi sekelilingku berasal dari awan besar yang sedang lewat, ternyata aku salah.

Di atas ku, tampak seekor kura-kura raksasa melayang di atas langit. Kura-kura itu berukuran sangat besar. Keempat siripnya bergerak perlahan seperti mendayung udara. Aku mengambil jarak yang cukup agar bisa melihat kura-kura itu lebih seksama.

Tampak di atas punggungnya, terdapat sebuah dinding besar. Di dalam dinding itu menjulang puncak-puncak menara dan kincir angin.

"Apakah itu semacam kota? Ada kota di atas kura-kura raksasa?" Aku melongo, hampir tidak percaya dengan yang kusaksikan.

Tiba-tiba saja, instingku yang tajam menangkap sesuatu dari atas sana. Aku tidak bisa melihatnya, tapi seluruh indraku seperti disengat oleh jutaan volt listrik. Aku terperanjat, takut dan merasa dingin. Ada seuatu yang tengah mengawasiku dari atas kura-kura itu.

Aku menengadah untuk melihat ke arah kota tersebut. Perlahan, tekanan energi itu menghilang. Aku dapat bernapas dengan normal kembali dan hawa dingin yang tadi menyelimuti sekujur tubuhku lenyap.

"Siapa itu?" gumamku, bertanya-tanya. Peringatan akan bahaya muncul di kepalaku. Buru-buru, aku berlari meninggalkan tempat tersebut. Saat melewati pemukiman goblin yang sudah tinggal puing-puing bangunan, mataku menangkap sesuatu.

Aku tidak memperhatikannya karena tadi sibuk bertarung. Tanganku menjulur menggapai bendera dari salah satu menara goblin. Bendera itu masih utuh. Kalau diperhatikan dengan seksama, di bendera itu terdapat cetakan yang membentuk sebuah simbol.

Simbol itu berbentuk seperti burung dengan roda gigi. Ini ketiga kalinya aku melihat simbol di dalam dungeon dan semuanya berbeda. Aku tidak bisa menyimpulkan apa pun di kepalaku, tapi rasa penasaran yang kuat mendorongku untuk membawa bendera tersebut.

Aku menoleh ke belakang sebelum masuk portal, memastikan keberadaan kura-kura raksasa tersebut. Ia sudah tidak terlihat di mana pun. Cepat sekali perginya atau yang kulihat tadi hanya ilusi. Tidak, rasanya sangat nyata.

Aku akan mencari tahu lebih banyak tentang kura-kura tersebut. Sementara, saat ini aku harus kembali ke dunia manusia.

***

Begitu keluar dari portal, kondisi di taman sudah sangat ramai. Aku melihat Ravi tengah berbicara dengan perwakilan dari Asosiasi Venator. Di sekelilingnya terdapat Venator-Venator yang mengenakan pakaian-pakaian mahal bergaya abad pertengahan. Mataku memindari mereka semua, sebagian besar ada Venator Peringkat A.

Aku tidak tahu apa yang Ravi bicarakan dengan orang-orang berjas hitam itu, tapi, untuk amannya, aku memilih untuk menyelinap pergi meninggalkan lapangan.

Di Jakarta, ada satu rumah sakit khusus untuk para Venator. Mereka selalu menjadi andalan jika ada korban yang dibawa keluar dari dungeon. Rumah sakit ini memiliki teknologi terkemuka yang sudah diimpor dari Asosiasi Venator Internasional.

Namanya adalah Rumah Sakit Venator Batavia atau biasa kami singkat RSH Batavia. Aku saat ini berada di lobi rumah sakit itu, bertanya pada petugas di lobi tentang informasi pasien bernama Tara Zachira.

Benar dugaanku, Tante Tara tadi dibawa ke rumah sakit ini. Setelah mendapatkan nomor kamar Tante Tara, aku langsung menaiki lift dan keluar di lantai sepuluh. Aku berjalan melewati koridor putih dengan kamar-kamar yang terisi oleh pasien.

Aku mendorong pintu bertuliskan Jasmine 101 dan masuk. Di dalam, sudah ada Chika. Ia tengah berbincang dengan dokter yang sedang menangani Tante Tara. Tante Tara berbaring di atas bangsal, ia belum sadarkan diri.

"Ah, apa Anda kerabatnya juga?" tanya dokter berambut kelabu itu saat melihatku datang.

Chika menoleh ke arah pintu, wajahnya berubah sedikit ceria. "Arka! Syukurlah kamu baik-baik saja!"

Aku mengangguk pada gadis itu dan mengelus kepalanya. Lalu aku beralih kepada dokter tersebut. "Bagaimana kondisi Tante saya?"

"Saya baru mau menyampaikan," jawab dokter itu sambil tersenyum. "Berkat teknologi dari Asosiasi Venator Internasional kami bisa mengatasi benih yang sudah ditanamkan ke dalam rahim pasien."

"Mengatasi itu bagaimana maksudnya?"

"Kami sudah mematikan seluruh sel benih tersebut, pasien tidak akan mengandung anak-anak goblin. Selain itu kami juga akan memberikan obat untuk mengatasi traumanya."

"Jadi, Ibu saya tidak apa-apa kan?" tanya Chika, memastikan.

"Dia akan kembali pulih seperti sedia kala."

Chika langsung menangis. Ia menggenggam tangan kiriku dan menyandarkan pipinya di sana. "Syukurlah! Aku sangat bersyukur mendengar kabar ini!"

Aku gantian mengobrol dengan dokter tersebut, sementara Chika langsung kembali ke kursi yang ada di samping bangsal ibunya.

Setelah menyampaikan semua informasi, dokter itu pun izin meninggalkan kamar. Aku dan Chika masih tinggal di ruang tersebut, menemani Tante Tara sampai ia sadar kembali. 

Train to The DungeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang