21. To Fly Away

3.8K 494 26
                                    

Kemarin, di jam yang sama, Joan masih bisa tertawa lepas bersama Mami dan Jeff di ruang makan. Berbincang panjang lebar tentang kehamilannya.

Mata perempuan itu sembab dengan sempurna karena tangisannya sejak semalam. Sejak dirinya harus melepaskan janin yang bahkan belum sempat di genggamnya.

Joan kehilangan janin yang sudah hampir tiga belas minggu menjadi temannya. Sebuah kehilangan yang berhasil memukulnya dengan telak.

"Kalau aku ke rumah sakit lebih awal, pasti baby masih ada sama kita kan ya, Jeff," lirih Joan menatap wajah suaminya.

Laki-laki yang duduk di kursi samping tempat tidur pasien itu hanya bisa tersenyum, membawa tangannya guna mengusap kepala istrinya.

Ruangan VVIP itu hanya diisi oleh Jeff dan Joan, setelah Jeff meminta Mama dan Mami untuk pulang setelah semalam ikut berjaga disana.

Mengecup pelipis istrinya dengan lembut, Jeff kembali membawa tangannya guna mengusap punggung tangan kiri Joan yang tidak terpasang jarum, "bukan salah kamu, Sayang," ucapnya.

Joan menarik tangannya yang digenggam oleh Jeff, mengusap air matanya yang kembali turun dengan kasar, "aku Mama yang buruk, ya? sampai dia aja nggak mau disini lebih lama sama aku?" sesal Joan sekali lagi.

Sejak semalam, perempuan itu masih mengucapkan kalimat-kalimat yang sama. Joan terluka dengan kehilangan yang begitu tiba-tiba.

"Kamu Mama yang keren, kamu udah berjuang buat pertahanin baby sejak awal," Jeff menggelengkan kepalanya pelan, menyisipkan anak rambut istrinya ke belakang telinga.

Tersenyum hangat, laki-laki itu mengusap mata istrinya yang basah, "kamu inget nggak, waktu Dokter Gabby bilang kalau ini akan beresiko, kamu tetap memilih buat pertahanin baby," lirih Jeff menatap mata istrinya.

"Tapi, aku gagal," tangis Joan kembali pecah, perempuan itu sesenggukan, "aku nggak bisa jaga dia, maafin aku, Jeff," lanjutnya putus-putus.

Jeff segera beranjak dari kursinya naik ke atas tempat tidur, dengan cekatan laki-laki itu merengkuh tubuh istrinya, memeluk tubuh ringkih itu dengan erat.

"Nggak ada yang harus dimaafin, Jo, bukan salah siapa-siapa, mungkin berkat dari Tuhan buat baby bareng kita cuma sampai kemarin," bisiknya pada telinga Joan. "Kamu udah jadi Mama yang keren buat baby, dia pasti seneng udah jadi temen Mama Joan tiga belas minggu kemaren," lanjutnya.

Hanya suara lirih tangis Joan yang mengisi ruangan itu, sebuah tangisan yang terasa menyesakan bagi Jeffano sendiri.

Semalam, Jeff juga menangis ketika Dokter memberi kabar kehilangan itu. Tidak ada orang tua yang siap kehilangan anak, meskipun sosok itu belum sempat disentuhnya sekalipun.

Tapi Jeff paham, jika luka Joan jauh lebih besar darinya. Istrinya, yang selama ini hidup bersama janin itu. Joan juga yang tetap berjuang bertahan dengan kondisi kehamilan yang tidak mudah.

Jeffano memilih untuk menjadi kuat, bukan karena dirinya tidak kehilangan. Tapi, karena dirinya harus menguatkan istrinya yang jauh lebih terluka.

Joan membalikan tubuhnya, perempuan itu memeluk tubuh suaminya dengan erat. Kembali menangis di pelukan Jeff.

Dengan penuh sayang, Jeff terus mengusap kepala belakang Joan, mengecupi puncak kepala istrinya dengan lembut.

"Tuhan ambil baby karena Tuhan sayang sama dia, kecil atau besar, cepat atau lambat, dia hanya titipan buat kita," ucap Jeff mencoba memberi afirmasi positif untuk istrinya.

Tak ada lagi raungan dari Joan, perempuan itu masih memeluk Jeff dengan sesenggukan, "kita lewati ini berdua, kita kehilangan baby berdua, dan kita akan ikhlaskan baby berdua."

Your TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang