33. Simple But Free

3.8K 505 25
                                    

Tangan Joan terangkat begitu matanya melihat seorang perempuan berjalan memasuki conference room yang sudah hampir penuh itu.

"Kok sendirian?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir perempuan yang langsung menempatkan diri di kursi kosong yang ada di samping Joan.

"Iya, soalnya Jani lagi sibuk sama laporan akhir bulan yang dikejar, Jo," balas Asti yang sudah membuka iPad yang dibawanya. "Kamu kok nggak sama Kina?" balik Asti setelah tidak menemukan asisten Joan tersebut.

Joan menggelengkan kepalanya pelan, "Kina lagi cuti," singkat Joan bersamaan dengan masuknya beberapa orang yang langsung duduk di barisan meja bagian depan conference room.

Keduanya mulai larut dengan materi meeting siang itu, sebuah rapat untuk membahas salah satu proyek pembangunan cluster baru di Batu, Malang.

Ada banyak hal yang akan dibahas disana. Tentu, diawali dengan proyeksi yang diberikan oleh tim finance yang diwakili oleh Wira dan Rea disana.

Joan benar-benar memberikan note pada hal-hal yang dia rasa perlu untuk diperhatikan lebih. Terutama ketika tim bizdev mulai turun bersama dengan tim lapangan.

Mengingat proyek kali ini menjadi salah satu proyek pembangunan yang cukup besar, sebuah perumahan yang ukurannya hampir sama seperti perumahan yang ada di Surabaya.

Satu kesalahan atau data tidak akurat mungkin akan berdampak besar bagi jalannya proyek itu nantinya. Dan Joan tidak ingin hal itu terjadi, mengingat posisi timnya juga cukup mengakar disana.

"Rena kok nggak kelihatan, Jo?" heran Asti dengan punggung bersandar pada kursi.

Setelah dua jam meeting, seluruh anggota mendapat sebuah break time selama satu jam untuk beristirahat.

Joan menatap Asti dengan tangan terlipat di depan dada, "tadi masih ada tamu dari consultant team," balas Joan melirik sekilas Patek Philippe yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Paling Renata gabungnya sekalian setelah break time," imbuhnya.

"Bu Jo, kata Nindia ini ada paket dari Pak Jeff," ucap Wira meletakkan satu paper bag dari coffee shop internasional langganan Joan di atas meja.

Joan kembali menegakkan tubuhnya guna melihat isi tas cokelat di hadapnnya itu, "kalau ada yang lain, minta tolong Nindia suruh bagiin ke anak-anak aja, Wir," balas Joan mengeluarkan empat cup kopi yang ada di dalam sana. "Thank you, anyway," imbuhnya yang langsung dibalas Wira dengan anggukan

Tangan perempuan itu segera menggesernya ke arah Wira yang berdiri di seberangnya—yang sibuk mengetikan sesuatu di ponselnya— dan satu cup lain untuk Asti yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Thank you, jadiin aku asistenmu aja deh Jo kayaknya," kata Asti meletakkan kembali ponsel miliknya. "Wir, makmur jadi anak buah Joan?" alih Asti pada Wira.

Laki-laki itu mengangguk, "setahun sama Bu Jo, aku naik tujuh kilo, Mbak," sahut Wira dengan senyum lebar. "Ideal nih aku sekarang nggak perlu nyusun acara weight gain lagi," tambahnya dengan tawa lebar.

Joan kali ini ikut tertawa dengan celetukan Wira, ada sedikit rasa tidak percaya mendengar partnernya itu—dan sebuah rasa terkejut—dengan apa yang Wira ucapkan.

"Buat aku ada nggak nih?"

Suara itu berhasil membuat ketiga orang disana mengalihkan perhatian mereka, menatap seorang perempuan—yang langsung duduk di samping kiri Joan—dengan napas ngos-ngosan.

Renata bahkan hanya menjepit rambut seadanya, terlihat jika perempuan itu baru saja berlarian karena napasnya yang tersenggal disana.

"Napas dulu baru minum, nanti tersedak," ucap Joan dengan tangan menggeser satu cup yang sengaja ia sisakan disana.

Your TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang