36

2.4K 120 14
                                    

[Vote sebelum baca!]

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

SELAMAT MENIKMATI

^^

Riana bersama kedua orang tua dan mertuanya berjalan tergesa-gesa menuju ruang IGD. Mereka belum bisa masuk karena Faiz masih dalam penanganan darurat membuat semuanya menunggu dengan cemas. Riana berjalan mondar-mandir di depan pintu menunggu dokter ke luar untuk memberitahu kondisi Faiz, Arka dan Elis duduk di kursi yang disediakan dengan hati yang terus berdoa, dan Umi Annisa yang ditenangkan oleh Kiai Furqan.

Salah satu dokter yang menangani Faiz ke luar membuat semua yang menunggu mendekat. "Benar dengan keluarga Muhammad Faiz?"

"Benar, Dok. Bagaimana kondisi anak saya sekarang?" tanya Umi Annisa cepat.

"Faiz mengalami kondisi yang lumayan parah dan mengalami koma sekarang sehingga harus segera dipindahkan ke ruang ICU."

Riana terdiam, menatap dokter dan ruangan yang ditempati Faiz sekarang, Umi Annisa langsung pingsan mendengar kabar tersebut yang langsung dibantu oleh yang lain. "Segera pindahkan saja, Dok. Lakukan yang terbaik," ucap Elis karena melihat Riana yang masih diam saja dan tidak memiliki tanda-tanda untuk angkat bicara.

Faiz segera dipindahkan keruang ICU, beberapa puluh menit kemudian keluarga pasien sudah dibolehkan masuk tetapi tidak bisa lebih dari dua orang. Riana dan Elis masuk lebih dulu karena Umi Annisa masih belum datang dari ruang UGD. 

Tangan Riana meremas pinggiran baju, matanya memanas ingin menangis melihat kondisi Faiz yang begitu asing baginya. Dia tidak pernah melihat Faiz dengan kondisi seperti ini, dia tidak pernah melihat Faiz terbaring lemah dengan alat-alat rumah sakit yang mengitarinya.

Elis memeluk Riana. "Nangis aja, jangan ditahan."

Riana balas memeluk Elis, wajahnya ia tenggelamkan di pundak Mamanya, tangisannya yang dia tahan dari semenjak mendapat kabar Faiz akhirnya pecah di pelukan Elis.

"Mama, Faiz nggak mungkin ninggalin Riana, kan?" satu ucapan yang berisi pertanyaan untuk pertama kalinya muncul dari mulut Riana setelah satu jam perempuan itu hanya diam.

Elis menggeleng cepat. "Faiz nggak bakal ninggalin kamu, jangan mikir yang aneh-aneh."

Riana terisak. "Mama... Riana takut."

Elis mempererat pelukannya, mengusap punggung Riana yang sedikit bergetar. "Jangan takut, Faiz bakal baik-baik aja."

Setelah beberapa menit menghabiskan waktunya untuk menangis di pelukan Elis, sekarang perempuan itu memilih duduk di kursi samping brankar dengan sisa-sisa tangisannya. Semenjak ia mendapatkan kabar lewat telepon, pikiran-pikiran negatif mulai menyerangnya, membuat ia merasa takut jika pemikiran-pemikiran negatif itu terjadi.

Riana menunduk, meraih tangan Faiz yang tidak terdapat selang infus. Dia menggenggam tangan tersebut dengan mata yang terus memandang wajah lelaki itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Walaupun Riana hanya diam, tetapi dia selalu berdoa semoga keadaan Faiz lekas membaik, walaupun dia sering bercanda tentang ditinggalkan atau meninggalkan lelaki itu dan menjadi seorang janda, tetapi dia tidak pernah serius, bagaimanapun Riana tidak pernah ingin ditinggalkan oleh Faiz dengan cara dipanggil oleh Tuhan lebih dulu. Dia masih ingin berada di samping lelaki itu, entah dari kapan dia mulai merasa nyaman bersama Faiz. Entah dari kapan Riana mulai menjatuhkan hatinya untuk sosok seperti Muhammad Faiz Mudaffar Al-Khayr.

Hallo Gus!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang