34. Setara

707 31 40
                                    

Inggit dengan cekatan menyuapi bubur pada Elang yang baru saja di antar oleh seorang perawat pagi ini. Walaupun tampak susah untuk menelan setidaknya bubur dengan tekstur sedikit cair ini bisa mengisi kekosongan perut Elang. Setengah sendok makan bubur yang Inggit letakkan ke dalam mulut Elang butuh setidaknya waktu dua menit lebih untuk Elang menelan buburnya.

Awalnya Inggit merasa kasihan melihat Elang yang tampak begitu kesusahan untuk menelan namun dokter yang sengaja berdiri di dekat brankar Elang; sekedar untuk mengontrol pasiennya memberikan sedikit dorongan untuk Inggit bahwa ini adalah salah satu terapi menelan yang akan membuat Elang agar bisa cepat berbicara. Inggit yang memang tidak tahu-menahu hanya mengikuti apa yang diminta oleh dokter toh, itu juga baik bagi Elang.

Setelah memperhatikan Elang dan dirasa cukup baik, dokter itu pun tak lama undur diri karena harus memeriksa pasien yang lainnya. Bubur yang berada di mangkuk kini hanya berkurang seperempat lebih dari yang di bawa perawat pagi ini. Inggit terharu dengan usaha yang Elang perlihatkan padanya. Inggit ingin menyudahi namun sepertinya Elang masih terasa lapar karena mulutnya masih saja meminta untuk Inggit menyuapinya lagi.

"Mau lagi? Masih lapar?" tanya Inggit yang mendekatkan kepalanya ke arah telinga Elang.

Elang hanya memejam matanya sebentar lalu membuka mulutnya sedikit, meminta agar Inggit menyuapinya lagi, hal itu membuat Inggit tersenyum dan kembali menyuapi Elang.
Merasa perutnya sudah terisi penuh Elang menutup rapat mulutnya saat sendok bubur yang Inggit arahkan menyentuh bibirnya.

"Udah kenyang?" tanya Inggit.

Elang mencoba menggerakkan kepalanya untuk sekedar mengangguk tetapi ternyata masih susah, ia beralih mengedipkan matanya sebagai jawaban 'iya'. Inggit tersenyum, lalu meletakkan mangkuk bubur itu di atas bedside cabinet dan beralih mengambil air minum yang telah di letakkan sedotan ke dalam gelasnya.

"Minum dulu," perintah Inggit membuat Elang berusaha dengan susah payah mengangkat kepalanya dan dengan cepat Inggit sodorkan sedotan ke arah bibir Elang.

Inggit sudah menaikkan bagian kepala brankar milik Elang, namun sepertinya tetap saja masih susah bagi Elang untuk sekadar memposisikan kepalanya meraih sedotan.

"Minum obat ya. Kepalanya gak usah gerak kalau susah, biar gue yang memposisikan sedotannya," ucap Inggit yang memahami kesulitan Elang lalu memasukkan beberapa butir obat ke dalam mulut Elang dan mendorongnya dengan air minum yang ia berikan.

"Sekarang tidur dulu, ini masih jam 10 pagi. Kemungkinan setelah makan siang nyokap lo dan Bang Doni bakalan ke sini jagain lo."

Inggit yang sudah bersiap akan mengangkat selimut Rumah Sakit Elang sampai batas dada pria itu dan tak lupa menurunkan kembali brankar di bagian kepala Elang, memposisikan pria itu agar nyaman dalam tidurnya namun entah mengapa ia melihat Elang yang seperti enggan menutup mata.

"Tidur dulu, Lang. Lo butuh banyak istirahat."

Seperti tidak mendengarkan, Elang masih terjaga dengan matanya yang masih terbuka.

"Kenapa? Gak mau tidur?" Kali ini Inggit menyerah, menurunkan sedikit egonya yang menyuruh Elang untuk segera tidur.

Tanpa Inggit sadari Elang berusaha dengan susah payah untuk mengeluarkan suaranya. Urat di lehernya mulai kelihatan karena usaha yang terlalu pria itu paksakan. Inggit mengelus kepala plontos pria itu dengan lembut.

"Mau ngomong, Lang? Jangan dulu, ntar aja. Jangan di paksakan, ntar leher lo sakit."

Elang tidak mendengarkan Inggit, ia terus berusaha memaksa agar suaranya keluar. Ia benci dengan situasi yang seperti ini. Ia merasa kalau setidaknya Inggit harus mendengarkan suaranya. Ia yakin kalau Inggit juga menunggu suaranya. Ia ingin Inggit yang mendengar suaranya pertama kali.Wajah Elang kini sudah memerah akibat tekanan berlebihan yang ia berikan pada otot-otot di sekitar lehernya.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang