45. Reuni

255 21 31
                                    

Beberapa hari ini Doni memilih untuk menginap sementara di rumah Elang. Dirinya enggan jika harus kembali ke rumah dalam suasana hati yang masih tidak nyaman pada mamanya. Berkali-kali Sekar coba untuk menghubungi Doni melalui nomor pribadi maupun dari telepon kantor pria itu dan berkali-kali juga Doni menolak dengan alasan sibuk atau kadang mematikan ponsel pribadinya.

Doni menempatkan dirinya di kamar atas, tempat Elang pertama kali tidur saat berada di rumah itu. Walau kurang nyaman karena ini bukan kamarnya sendiri tetapi ia merasa bersyukur adik bungsunya mau menerima sosok Doni sebagai Abang yang jauh dari kata sempurna itu. Tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju selain rumah Elang yang jauh dari mamanya. Untuk ke apartemennya sendiri pun juga tidak mungkin, karena masih ada Kathrina-nya di sana, apalagi menginap di rumah mertua Niko, oh, itu ide yang buruk.

Doni menuruni anak tangga dengan cepat saat mendengar suara Inggit berteriak dari bawah tangga yang memanggil namanya untuk segera turun makan di bawah. Saat kakinya berpijakan pada anak tangga terakhir, netranya menangkap punggung seseorang yang sangat ia kenal sedang berdiri membelakanginya, rambut yang tergerai indah menutupi sebagian punggungnya dengan warna rambut golden brown di antara rambut berwarna hitam yang Doni yakini kalau itu adalah Kathrina, kekasihnya. Doni melangkahkan kakinya lebar-lebar dan langsung memeluk pinggang ramping itu dari belakang.

"Kenapa datang gak ngabarin dulu, hm?" tanya Doni tepat di telinga wanita itu, menyesap aroma shampo yang menguar dari helaian rambut di hadapannya.

Kathrina berbalik dengan cepat, menciptakan jarak yang semakin kecil di antara mereka. Pinggang ramping Kathrina masih dalam rangkulan Doni.

"Aku dikabarin Inggit, Sayang. Inggit ngajak aku makan malam di sini bersama-sama." Membelai rahang tegas Doni dengan jemari lentiknya.

Doni meresapi setiap sentuhan Kathrina di wajahnya lalu mengambil tangan itu dan menghujaninya dengan beberapa kecupan di punggung tangan wanitanya.

"Ekhem!"

Suara deheman yang sengaja Elang buat seberat mungkin memecahkan adegan romantis di depannya. Membuat dua pasangan itu gelagapan, merasa seperti tengah tertangkap basah sedang berbuat yang tidak-tidak.

"Ayo, Bang Doni, Kak Kath, kita makan. Inggit udah nunggu di meja makan," ujarnya yang memimpin langkah dengan kruknya, diikuti oleh Doni dengan menggenggam tangan Kathrina seakan tak ingin lepas.

Inggit dan Elang jarang berada di meja makan jika mereka hanya berdua di dalam rumah, meja makan ini hanya seperti pajangan di rumah Elang. Mereka berdua lebih senang makan di sofa depan televisi, dulu alasan Inggit karena Elang masih memakai kursi roda agar pria itu tak kesusahan dengan menaikkan dirinya ke atas kursi makan tetapi alasan itu membuat mereka nyaman hingga sekarang.

Meja makan yang hanya akan dipergunakan oleh Inggit dan Elang saat kedatangan Niko waktu sebelum menikah, dan sekarang meja makan ini kembali beroperasi saat kedatangan pasangan dewasa di hadapan mereka, Kathrina dan Doni.

"Lang, sebulan atau dua bulan lagi mungkin lo udah bisa ngambil peran di pabrik textile milik Papa," ujar Doni di sela-sela aktivitas mengunyahnya.

Elang meletakkan alat makannya di atas piring, menatap Doni yang duduk berseberangan dengan penuh tanda tanya.

"Lah, kok gue, Bang? Enggak lo aja sama Bang Niko? Gue gak ngerti, Bang."

"Gak bisa. Itu udah jadi wasiat Papa yang harus gue dan Niko lakukan. Kalau lo oke, kita akan urus balik namanya atas nama lo," ujar Doni santai sembari menenggak habis air putih di dalam gelas.

"Yang bantu gue, siapa?" tanyanya lagi. Elang tidak merasa antusias, melainkan merasa bingung, dirinya belum pernah bekerja apapun, apalagi mengurus sebuah pabrik textile.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang