36. PACAR ELANG

546 29 30
                                    

Hari ini terhitung sudah hampir dua minggu Elang berada di rumah sakit menjalani masa pemulihannya. Kemajuan yang Elang berikan cukup pesat. Matanya sudah mulai melihat dengan lebih jelas, gerakan jari jemarinya juga sudah mulai kelihatan.

Hari ini juga Elang akan melakukan serangkaian terapi yang kedua kalinya dalam tempo seminggu sekali. Ditemani oleh Inggit dan juga Sekar, ibunya.

Tidak, sebenarnya hanya Sekar saja karena Inggit hanya mengawasi Elang dari jauh sesuai perintah Sekar. Inggit hanya diperbolehkan mendekati Elang selama Sekar tidak ada, jika Sekar sedang bersama Elang maka wanita itu tidak diperbolehkan dekat dengan radius yang bisa memicu Elang kembali mengabaikan Sekar, seperti yang sebelum-sebelumnya.

Hari ini terapis Elang membantu pria itu menggerakkan tangannya, ke atas, ke bawah, dan juga melipat tangannya bertujuan agar sirkulasi darah dan otot-otot Elang kembali seperti semula. Terapis mulai mengangkat tangan Elang sedikit lebih tinggi hingga batas kepala, membuat pria itu mengernyit kesakitan dan peluh mulai mengaliri disekitaran dahinya.

Sekar dengan sigap menyeka peluh anak bungsunya dengan pelan dan sesekali mengucapkan kata semangat pada Elang.

Sementara Inggit masih berdiri di dekat sofa yang bisa memuat tiga orang itu memerhatikan semua ekspresi dan pergerakan yang Elang buat. Inggit meremas ujung baju kemeja berwarna pink yang sedang ia pakai dengan kuat, merasa tidak bisa berbuat apa-apa pada Elang karena Sekar hanya menyuruhnya untuk tetap berdiri di tempatnya sekarang.

Sesi terapi akhirnya selesai. Elang melihat Inggit yang berdiri jauh dari sisinya. Pandangan mereka bertemu tatap. Inggit dengan sekuat tenaga menyunggingkan senyum lebarnya begitu juga dengan Elang. Inggit berusaha menyimpan rasa khawatirnya melalui senyum yang ia berikan pada Elang.

"Elang, Anak Mama ...," panggil Sekar mengalihkan tatapan Elang dari Inggit, yang kini beralih menatapnya.

"Elang capek?" tanya Sekar berbasa-basi.

Elang menggeleng pelan.

"Enggak, Ma. Elang 'kan anak kuat, gak capek, Ma ..," ujarnya tenang, menyunggingkan senyum tipisnya.

"Kalau capek bilang aja ya, Lang. Gak papa minggu depan gak terapi dulu," sahut Sekar, membelai kepala plontos Elang yang mulai di tumbuhi rambut-rambut halus.

Elang menggeleng lagi.

"Kalau terapi Elang di-skip cuma karena capek, Elang gak akan sembuh-sembuh, Ma ...," ujarnya, 'dan gak akan bisa lindungi Inggit secepatnya,' batinnya menimpali.

"Baiklah, tapi kamu jangan memaksakan diri sendiri, Lang ..."

"Baik, Mama, Sayang ...." Menyunggingkan senyuman dengan lebar. 

Pintu ruang rawat Elang terbuka, menampakkan Doni dan Niko yang datang secara bersamaan. Dua Abang kesayangan Elang itu melangkahkan kakinya ke arah brankar Elang secara serentak. Namun, netra Niko menangkap Inggit yang berdiri di tempatnya tanpa ada niat untuk mendudukkan dirinya di atas sofa. Niko seolah memberi pertanyaan melalui tatapan mereka yang bertemu dan dengan cepat Inggit menggeleng, mengisyaratkan kalau tidak terjadi apa-apa padanya.

"Hai, bro," sapa Doni, memukul kecil lengan Elang, berusaha membuang rasa canggung yang  terkadang masih meliputi dirinya dan Elang.

"Gimana? Terapi kali ini masih berat?" tanya Doni kemudian, yang memilih untuk lebih memerhatikan kegiatan apa saja yang dilakukan Adik bungsunya tersebut.

Elang tersenyum cerah. Baru kali ini rasanya Doni menanyakan kegiatan yang Elang lakukan lalu ia menggeleng menanggapi pertanyaan yang Doni berikan.

"Enggak, Bang. Karena udah dua kali terapi, rasanya gak seberat yang pertama," sahutnya dengan senyum yang masih menghiasi kedua sudut bibir Elang.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang