42. Sebuah Perayaan Cinta

312 23 27
                                    

Hampir dua bulan sudah Elang melakukan terapi berjalan yang tentu saja dibantu oleh Inggit. Sesekali wanita itu membiarkan Elang untuk sekedar berdiri sendiri dari kursi rodanya. Walau tampak kesusahan tapi Elang mampu berdiri sendiri tanpa bantuan Inggit meski hanya selama lima detik dan setelahnya pria itu kembali mendudukkan bokongnya pada alas kursi roda secara kasar karena rasa lelah yang luar biasa.

Senyum Inggit mengembang melihat perjuangan Elang yang sangat luar biasa, menurutnya. Walaupun hanya lima detik tapi itu sudah bagus dan mereka akan kembali mencobanya esok hari.

Keesokan harinya Elang kembali belajar berjalan dengan bantuan Inggit. Pria itu menumpukan kedua tangannya pada pundak Inggit sementara kakinya ia biarkan bekerja dengan semestinya.

Elang mulai menggerakkan langkah pertamanya yang langsung disambut kata semangat penuh ambisi dari Inggit. Pria itu terus menggerakkan kakinya dengan perlahan hingga dilangkah kesepuluh Elang mulai kesusahan, peluhnya mulai membanjiri pelipis dan kening.

"Mau udahan?" tanya Inggit lembut.

Elang menggeleng. "Lima langkah lagi, Iit, abis itu udah," kata Elang mantap.

Inggit menyetujuinya dan mereka mulai kembali melangkah bersamaan secara perlahan.

Inggit mendudukkan bokong Elang pada alas kursi roda, peluh Elang telah menghilang akibat terus-terusan diseka oleh Inggit menggunakan punggung tangannya.

"Hari ini cukup, Lang. Kita akan lanjut lagi besok."

"Iit, gak bisa lanjut nanti sore aja?" tanya Elang mencoba menawar, ia tampak sangat bersemangat.

"Gak capek, Lang?" tanya Inggit yang terdengar khawatir.

"Jangan dipaksa, Lang ...," lanjutnya lagi.

Elang menggeleng. "Aku gak capek, Sayang. Seenggaknya di saat acara pernikahan Bang Niko nanti aku udah bisa pakai kruk, Iit."

"Iya, tapi ingat juga kata dokter dan terapis, Lang. Kamu gak boleh terlalu memforsir kaki kamu, takutnya akan cidera," ujar Inggit semakin khawatir.

"Enggak, Sayang. Percaya aku. Oke?"

Inggit menghela napas pasrah, kekasihnya ini sungguh keras kepala.

**********

Di atas sana, sang matahari tanpa ampun menyeruakkan cahaya panasnya pada penduduk bumi. Siapa saja yang keluar rumah dan menampakkan diri pada sang penguasa di siang hari itu tanpa memakai perlindungan apapun pada tubuhnya sudah di pastikan akan menderita kemerahan dan perubahan warna kulit dari tone aslinya.

Namun hal itu tak menyurutkan semangat Inggit, sejak pukul sepuluh pagi tadi hingga menjelang jam makan siang Inggit masih berkutat pada gunting tanaman di tangannya. Sesekali gunting itu ia gunakan untuk memotong daun yang sudah terlihat menguning pada batang bunga mawar merah miliknya.

Ya, Inggit mulai memilki hobi baru dengan memelihara beberapa macam bunga di pekarangan rumah Elang, yang tentu saja sudah disetujui oleh kekasihnya itu.

"Akhirnya selesai juga," gumam Inggit dengan menyeka peluh pada keningnya.

Ia segera bangkit dari kegiatan berjongkoknya. Inggit memutar badannya ke kiri dan ke kanan guna menepis rasa nyeri yang timbul pada bagian belakang tubuhnya, wanita itu sudah merasa seperti nenek-nenek tua yang mungkin akan berjalan dengan sedikit merundukkan badan.

Selesai dengan perenggangan ala-alanya, Inggit memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah Elang, bermaksud untuk mendinginkan dirinya yang telah basah akibat peluh di sekitaran tubuh.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang