39. Semua Karena Raina

292 23 50
                                    

Dua hari sudah Raina tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan Elang, hal itu membuat Elang senang, ia berpikir kalau wanita itu sudah menyerah akan usahanya yang berusaha membuat Elang jatuh cinta lagi padanya.

Elang mengulurkan tangannya yang bergetar pada surai Inggit. Ia membelai surai wanita yang ia cintai itu dengan perlahan seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Posisi duduknya yang bersandar pada kepala brankar membuat jaraknya dari Inggit tidak terlalu jauh sehingga dengan mudah mendaratkan tangannya di puncak kepala Inggit.

Inggit menikmati setiap pergerakan yang Elang lakukan, ia menempelkan telapak tangannya pada punggung tangan Elang dan membawa tangan itu untuk ia kecup.

"Kenapa, Iit?" tanya Elang dengan senyum jahilnya.

"Gue senang lo udah bisa gerakin tangan, Lang. Bentar lagi belajar jalan, ya ...," pinta Inggit.

"Asalkan sama lo, Iit."

"Gue akan selalu berada di sisi lo, Lang ...," ujar Inggit tulus.

Gagang pintu ruangan Elang terputar, menarik atensi dari kedua orang yang tengah di mabuk asmara itu. Pintu pun terbuka dan menampilkan wujud Raina, hari ini wanita itu tampak menguncir rambutnya bak ekor kuda tapi tak terlalu tinggi, menampakkan leher jenjang miliknya.

"Halo, Elang, Sayangku ... udah makan? Ini aku bawain bubur," ujarnya, mengangkat kantong kresek putih di tangannya dengan tinggi. Tungkai panjang miliknya dengan cepat membawa tubuh ramping itu ke brankar milik Elang.

Elang memutar bola matanya malas. Baru juga ia akan bersuka cita karena Raina tak lagi datang ke tempatnya namun suka citanya tersebut harus pupus terbawa angin sebelum benar-benar berkembang.

"Ngapain lagi lo ke sini?" ketus Elang.

"Ini." Raina kembali mengangkat lagi kantong kreseknya ke udara. "Aku mau nganterin ini buat kamu, aku bawain kamu bubur, maaf ya, dari kemarin aku gak datang, kerjaanku tiba-tiba banyak banget dari kemarin. Kamu pasti rindu aku, 'kan?" tanyanya dengan percaya diri seraya meletakkan bubur tersebut ke atas bedside cabinet.

"Cih, gue malah senang lo gak datang. Gak ada yang ganggu gue dan Inggit," balas Elang terang-terangan.

Inggit menggoyang pelan pergelangan tangan Elang membuat perhatian pria itu beralih pada Inggit.

"Jangan gitu," lirih Inggit membuat Elang memejamkan matanya dalam, mencoba mengontrol emosinya yang akan meledak.

Semenjak Raina kembali menampakkan muka di hadapan Elang, emosi pria 27 tahun itu kerap kali meledak-ledak, ia bagai orang yang mudah tersulut emosi jika berhadapan dengan Raina. Namun di satu sisi Elang bersyukur, ada Inggit yang siap sedia meredakan amarahnya yang mulai naik, Inggit bagai angin segar di tengah gurun pasir baginya.

"Ekhem, Mbak. Bisa gak ya awas dari sana. Gue mau nyuapin Elang," ujarnya dengan angkuh.

Gigi Elang mengerat, tangannya mengepal kuat membuat buku-buku tangannya sedikit memutih. Emosinya serasa lahar panas yang akan meluap, ia perlu ciuman Inggit untuk meredakan lahar panas ini.

"Jangan mancing emosi gue ya, Rai."

"Apa? Kenapa Elang, Sayang?" Raina membelai lembut pipi Elang, membuat mata Inggit dan Elang terbelalak bersamaan.

"Mbak, tangannya yang sopan, ya," tegur Inggit akhirnya yang mulai muak dengan perlakuan Raina pada Elang. Batas kesabaran Inggit rasanya menipis.

Raina menatap Inggit dengan sinis melalui ekor matanya lalu menyunggingkan senyum remeh kepada Inggit.

"Apa? Lo mau apa?" tanya Raina congkak.

Wanita dengan kunciran rambut bak ekor kuda itu memutar brankar Elang dan mendaratkan ciumannya di pipi Elang setelahnya.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang