64. Stay With Me

544 26 28
                                    

Pagi ini seperti biasa, Inggit membantu Elang menyiapkan segala keperluan sang suami sebelum berangkat bekerja. Langkah kaki Inggit semakin lambat kian hari, perut wanita itu bertambah besar dan kini usia kandungannya memasuki bulan ke tujuh.

Inggit sedikit berjinjit lalu memasangkan dengan benar letak dasi sang suami agar semakin terlihat tampan dan rapi. Elang yang sudah selesai dengan setelan baju kerjanya mengecup puncak kepala Inggit dalam lalu beralih membelai dan membubuhkan kecupan di atas perut buncit istrinya.

"Baik-baik, ya. Jangan nakal, jangan buat Ibu sakit. Hari ini Ayah akan cepat pulang. Tunggu Ayah, ya ...," ucapnya seraya membelai penuh sayang pada permukaan perut Inggit dari balik pakaian wanita itu.

"Iya, Ayah," jawab Inggit dengan menirukan suara anak-anak.

Elang terkekeh kecil, tangan besarnya masih menempel di perut Inggit. Pria itu tersentak kaget saat merasakan pergerakan kecil dari dalam perut sang istri.

"Iit, barusan dia nendang? Dia ngerespon aku? Wah, senangnya!!" seru Elang dengan pandangan yang mengarah ke perut Inggit. Netra pria itu berbinar tatkala merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang selama ini ia tunggu-tunggu.

"Ayah senang, Nak. Kita harus sering-sering komunikasi, kamu selalu diam kalau lagi Ayah ajak bicara," ujar Elang dengan raut wajah bahagia. Pria itu tak lagi berdiri melainkan berjongkok tepat di hadapan perut Inggit.

Inggit terkekeh melihat Elang yang justru terlihat senang bukan main, pasalnya, selama Inggit merasakan calon anaknya ini sudah bisa membuat pergerakan kecil di dalam sana, Elang selalu tidak kebagian jika tengah membelai perut besarnya meski tanpa mengenakan apapun. Mungkin buah hati mereka masih malu untuk menyapa sang ayah.

"Kamu harus berangkat kerja, Lang. Nanti telat," ujar Inggit mengingatkan Elang karena jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.

"Nanti macet, Lang. Kamu semakin terlambat," lanjut Inggit yang belum melihat Elang beranjak dari sisinya.

"Sebentar Inggit, anak aku kayaknya mau curhat karena ibunya selalu makan pedas akhir-akhir ini tanpa bisa di larang." Telapak tangan besarnya belum juga menjauh dari Inggit, kini tatapan mata Elang justru menatap ke dalam netra Inggit tajam. Pria itu seperti sedang menunjukkan kemarahannya lewat tatapan mata.

Bukannya malah takut, Inggit semakin tertawa lebar. Wanita hamil itu tidak menyangkal dan tidak juga membenarkan. Semua itu murni keinginan calon anak mereka, Inggit hanya menurutinya saja.

"Anak aku bilang, semalam kamu makan mie korea yang pedas itu ya, Inggit? Apa namanya? Sayang? Sumyang? Ah, aku gak tau, pokoknya yang pedas banget itu, iya?"

Inggit meringis takut, bisa-bisanya Elang mengetahui rahasianya tadi malam. Padahal bungkus mie korea itu sudah ia buang jauh-jauh sampai ke tempat sampah depan rumah.

"Itu pedes banget loh, Inggit. Aku pernah lihat orang-orang di Youtube lagi makan mie itu sampai wajahnya merah. Kalau kamu mau banget, seenggaknya sama aku makannya biar gak ngerasain pedas sendirian. Kalau kamu mulas dan sakit perut gimana? Kamu gak terlalu kuat makan pedas, Iit," kutbah Elang panjang lebar. Sementara yang menjadi sasaran omelan pria itu hanya mengangguk paham sambil berdoa agar Elang cepat-cepat mengakhiri kutbah senin paginya ini.

"Lang, kamu sebaiknya-"

"Iya iya, aku mau pergi sekarang. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ngerasa ada yang gak enak langsung hubungi aku, ya." Elang mengecup kening Inggit dalam lalu beralih mengecup perut buncit Inggit sekilas dan segera berlalu pergi menuju arah pintu utama.

"Hati-hati, Lang!" seru Inggit saat Elang sudah akan masuk ke dalam mobil. Pria itu menatap Inggit sekilas dan melambaikan tangan serta menampakkan senyum manisnya sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil.

ELANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang