18. Jadi pergi

903 113 7
                                    

Happy Reading!
.
.
.

*-*-*-*

Pagi-pagi sekali, Hasan sudah siap dengan tas besar yang sudah nemplok di punggungnya. Tinggal pakai sendal, salim ke emak, dadah-dadah ke Jaka, terus berangkat.

Merasa ada yang aneh?

Sebenarnya, semalam setelah Jana pulang, emak tidak banyak bicara. Wanita itu langsung masuk ke kamar tanpa mengajak Hasan, namun Jaka dengan setia mengintili emak sampai ikut-ikutan masuk ke kamar. Sadar dengan hati emak yang sedang kacau, Hasan memilih untuk keluar. Tidak! Bukan keluar jalan-jalan. Melainkan hanya duduk-duduk di bale sambil merenung.

Tak terasa, Hasan duduk di sana sampai tengah malam. Emak yang sudah mulai tenang memutuskan untuk menyusul Hasan dan ikut duduk di sampingnya. Hasan terkejut karena tiba-tiba emak muncul, tapi ada yang lebih membuatnya terkejut ketika emak menyeletuk seperti ini;

"Kamu gak bakal lupa pulang kan, San?"

Hah! Kaget lah dia.

Bukannya tadi emak tidak mengijinkan, lalu kenapa tiba-tiba bertanya demikian? Apa emak berubah pikiran setelah merenung beberapa jam di kamar?

Melihat respon Hasan yang cuma bisa melongo, emak menarik nafas dalam. Meyakinkan dalam hati kalau keputusannya adalah yang paling tepat.

"Pergi aja, San. Asal jangan lupa pulang." kata emak lagi. Hasan masih planga-plongo belum connect. Ya maklum saja, ini terlalu dadakan. Hasan kan kaget.

Dan malam itu, emak benar-benar memberi ijin pada Hasan untuk pergi bersama Jana esok pagi. Mendapat lampu hijau dari emak, Hasan tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung menyiapkan baju dan beberapa keperluan lain selama pergi merantau, dibantu emak tentunya.

Tidak lupa, Hasan mengabari Jana lewat WA yang dikirim pakai hp Jaka. Karena Hasan tidak punya hp. Tapi untungnya, adiknya itu mau-mau saja di suruh Hasan untuk menyimpan nomor teman-temannya. Takut-takut ada perlu, Hasan kan tidak harus repot lari ke rumah mereka kalau ngasih info.

.
.
.
"Pergi dulu ya, mak. Emak sehat-sehat di sini. Do'ain Hasan supaya bisa cepet dapet kerjaan." katanya.

Emak tersenyum hangat sambil mengusap bahu Hasan, memberinya semangat. "Aamiin kasep. Hasan juga sehat-sehat di sana ya. Jaga sikap, jaga perbuatan. Di sana bukan di kampung kita. Kita gak tau orang-orang sana pergaulannya seperti apa. Jadi, emak titip sama kamu untuk berhati-hati kalau mau bergaul sama orang baru."

"Iya, mak." Hasan mencium tangan emak lama. Karena, mungkin belakangan ini, Hasan akan jarang mencium tangan itu lagi.

"Nanti kalau aa udah dapet kerja, jangan lupa sedekah." celetuk Jaka yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia akan berangkat kalau Hasan sudah berangkat. Sengaja mengulur waktu agar bisa berpamitan dulu dengan kakaknya.

Hasan mendelik mendengar itu. "Bocil mana paham. Gini-gini juga aa suka sedekah. Kamunya aja yang gak tau."

"Masa?" Jaka tampak ragu.

"Ges ah! Pasea wae." tegur emak. "Jaka, salim dulu ke aa." titahnya kemudian.

Jaka mendekat, meraih tangan Hasan dan menciumnya.

"Belajar yang bener, biar nanti bisa jadi PNS." Kata Hasan sambil mengacak gemas rambut Jaka yang sudah disisir rapi.

Jaka berdecak sebal, tapi tidak sampai marah. "Iya aamiin. Tapi cita-citaku mau jadi pengusaha." katanya sambil merapikan kembali rambutnya yang berantakan.

Cerita kami, 7 bujang Desa || Nct DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang