Happy Reading!
*-*-*-*
"Aduh, hatur nuhun pisan, abah, Anis."
Emak menerima makanan yang dibawa oleh abah dan Anis sebagai buah tangan menjenguk Hasan yang siang ini sudah pulang dari rumah sakit. Di sana juga ada Mahes, Juned juga Jana. Sekesal-kesalnya mereka, tidak akan tega juga membiarkan Hasan yang baru saja pulih setelah satu hari satu malam di rawat, pulang tanpa ditemani. Yaaaaaa.. walaupun hasrat ingin menggantung manusia itu di pohon pisan kadang muncul. Tapi tenang, mereka tidak sejahat itu kok. Mentok-mentok paling digetok pake palu.
Hasan yang baringan di atas kasur kapuk yang tadi di gelar Emak di tengah rumah cuma memperhatikan dibalik mata sayunya tanpa banyak bicara. Karena terkadang perutnya terasa di pelintir dan mual. Bahkan tadi saat baru saja keluar dari mobil Juned ia langsung muntah-muntah. Entah itu efek keracunan atau mabuk perjalanan.
"Maaf kemarin nggak sempat jenguk ke rumah sakit." Anis berujar dengan sangat lembut. Membuat Jana yang ada di sana melongo tanpa berkedip sedikitpun. Bahkan, jika saja Mahes tidak menyenggolnya mungkin pemuda itu sudah ngeces.
Emak tersenyum sambil menyodorkan minyak kayu putih pada Hasan yang baru saja Jaka ambil di kamarnya. "Nggak pa-pa, neng. Jenguk di rumah juga sama saja." Katanya.
Anis hanya tersenyum manis menanggapi jawaban Emak. Sumpah! Gadis itu terlihat sangat cantik ketika senyum. Sampai-sampai tanpa sadar Hasan menatap wajah ayu Anis yang mempesona. Walaupun lagi sakit, tapi kalau lihat yang cantik-cantik mah gas aja!
"Gimana ceritanya kamu bisa keracunan sunlight?" Kini giliran abah yang bertanya.
"Ya gitu.." Hasan terlihat ogah-ogahan menjawab pertanyaan yang menurutnya sangat sensitif. Bukan apa-apa, tapi dia malu! Ya kali jawab kalau dia kira air sunlight adalah air marjan.
"Aduh. Sakit, Mak." Pekik Hasan.
Emak kembali mengalihkan wajahnya pada abah dan Anis sambil tersenyum maklum setelah sebelumnya memelototi Hasan dan mencubit sedikit lengannya. Habisnya Emak gemas dengan jawaban yang Hasan berikan. Itu terdengar sedikit tidak sopan, mengingat abah adalah orang tua yang sepatutnya dihormati.
"Tidak sengaja, bah. Maklum, dia kan orangnya penasaranan." Begitu jawaban Emak. Terserah lah, Hasan mending diam saja sambil mengolesi perutnya yang kembali terasa sakit dengan minyak kayu putih.
Eitt! Tenang, Hasan tidak mengekspos perutnya begitu saja. Ia memakai selimut untuk menutupi seluruh badannya, kecuali kepala. Jadi aman, jangan berpikir aneh-aneh dulu.
"Kaget saya, mak. Sepulang dari mesjid Anis tiba-tiba ngasih tahu kalau Hasan masuk rumah sakit."
"Jangankan abah, saya saja kaget tiba-tiba dia pingsan terus kejang-kejang. Hiihh! Jangan sampai kejadian lagi." Emak bergidik ngeri mengingat kejadian kemarin yang hampir saja merenggut kewarasannya.
"Ya sudah atuh, saya sama Anis pamit dulu, mak. Masih banyak kerjaan di sawah soalnya."
"Muhun mangga, abah. Makasih udah jenguk." Emak ikut bangkit ketika abah dan Anis beranjak dari duduknya.
"Cepat sehat a Hasan." Tutur Anis. Tidak lupa dengan senyuman manisnya.
Hasan balas tersenyum. "Makasih Anis."
"Geura cager nya, San."
"Muhun, bah. Nuhun."
"Assalamu'alaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita kami, 7 bujang Desa || Nct Dream
Fiksi RemajaHanya cerita sederhana dari sekumpulan bujang-bujang desa yang penuh dengan lika-liku kehidupan. Berusaha menyeimbangkan diri di tengah terpaan jaman yang semakin menggila, membuat mereka semakin mengeratkan genggaman tangan satu sama lain. *-*-*