tekad untuk balas dendam

87 31 27
                                    

MENKALINAN SCHOOL. Sekolah sihir yang cukup terkenal kelam dan penuh kutukan. Kelabu awan selalu menutupi bangunan kastil yang menjulang tinggi menembus cakrawala itu. Tidak ada seorang pun yang ingin ke sana kecuali mempunyai tekad yang kuat seperti seorang penyihir muda berdarah campuran bernama Xaviera Ronelnya Queen. Gadis dari Desa kecil bernama Shaula. Tekadnya tinggi, meskipun ibunya tidak setuju, apabila dia berhasil masuk ke Menkalinan.

"Kamu tidak perlu bersusah payah sekolah di Menkalinan, Xaviera. Banyak sekolah lain yang lebih aman akan keberadaanmu sebagai penyihir berdarah campuran."

Di antara rinai hujan yang membasahi tanah Shaula. Serta berisiknya petir menggelegar sepi, Maylinda berbicara. Tatapannya dingin dan tetap fokus pada buku yang dibacanya. Sedangkan anak perempuannya berdiri di samping tempat tidur terlihat menggerutu. Dia bukan menunggu jawaban penolakan, melainkan sebuah persetujuan.

Dengkusan kesal terdengar. "Kenapa, Bu? Menkalinan itu sekolah terkenal. Banyak penyihir hebat lahir dari sana."

Ditutuplah paksa buku yang dibacanya, lalu Maylinda menghela napas panjang. Tatapannya beralih pada Xaviera dengan rambut keriting panjangnya yang sedikit berantakan. "Tapi, tidak harus di sana, Xaviera." Dia menjeda ucapan dengan mengusap lembut pucuk kepala anaknya. "Ibu tidak mau terjadi apa-apa. Cukup ayahmu yang pergi. Tidak kamu. Tidak Kak Handra," ujarnya penuh penekanan.

Handra. Memiliki nama panjang Handra Sagitarius. Kakak laki-laki Xaviera yang memilih bekerja di kafe, daripada sekadar mengembangkan ilmu sihir untuk membalaskan dendam terhadap kelakuan sekelompok penyihir bertudung hitam. Mereka telah menghabiskan nyawa Roberto Jimmy Sander-sang ayah, sang kepala keluarga, ketika Xaviera berumur dua tahun.

Xaviera mencebik. Dia menjatuhkan pantatnya di tepian tempat tidur secara kasar. Kedua tangannya terlipat ke perut. "Lalu, siapa lagi yang akan melindungi Desa Shaula ini, Bu? Kalau bukan kita, siapa? Orang-orang di sini pun acuh, padahal nyawa mereka juga terancam!"

"Ada sekolah sihir lain yang lebih pantas kamu--"

"Tidak, Bu. Aku akan tetap ke Menkanlinan." Selain alasan Xaviera ingin belajar menemukan kekuatan yang ada dalam dirinya, dia tahu kalau di sana tempatnya salah satu dari sekelompok penyihir jahat bertudung hitam. Kabarnya, penyamaran mereka sempat terendus sebagai salah satu guru mata pelajaran. Desas-desus menguar di antara warga Desa Shaula maupun desa sebelah, Desa Cruck. Makanya, kebanyakan orang memilih pergi ke tempat lain, daripada tempat terkutuk itu.

Maylinda tahu soal pendirian anaknya. Tidak akan ada yang bisa menyekal kecuali dengan pembuktian yang kuat. Kedua matanya mulai menyusuri tiap inci dari wajah bulat Xaviera. Ditatapnya kedua netra milik gadis remaja yang beranjak dewasa itu. Ada kilatan keyakinan dan kepercayaan, bahwa anak gadisnya bisa menghadapi segala rintang yang ada di depan sana.

Sayang, anak perempuanmu sudah besar. Apakah aku rela melepasnya sendiri untuk menemukan kekuatan yang selama ini dicarinya? Aku tidak ingin kehilangan menyapa kembali. Kalau perlu, aku saja yang pergi. Tidak kalian, keluargaku. Batin Maylinda bergejolak. Seolah dia bicara pada suaminya yang telah tiada.

Tiba-tiba, sebuah bisikan terdengar pelan. Menebas segala keraguan yang tertaut di hati Maylinda. Bisikan dari seseorang yang dicintai, bahkan kematiannya yang menyuguhkan duka, tetap diingat oleh Maylinda seorang diri. Sebab, cinta sejati takkan terlupa begitu saja.

Lepaskan saja anakmu, Maylinda. Dia sudah besar. Dia sudah tahu tujuan hidupnya akan bagaimana. Tekadnya sama besar sepertiku dulu. Kamu hanya perlu percaya padanya, bahwa dia bisa. Xaviera anak yang kuat. Dia punya kemampuan untuk melindungi keluarga kita dan desa Shaula.

Sekelebat bayangan Roberto masuk ke alam bawah sadar Maylinda. Tanpa sadar, cairan hangat mengalir keluar dari sudut-sudut matanya. Spontan, tubuh Xaviera ditarik masuk ke dalam dekapan eratnya.

"Maaf, kalau Ibu masih meragukanmu, Xaviera. Ibu hanya takut kehilangan akan menyapa kita lagi," ujarnya sedikit terisak.

Xaviera tertegun. Dia membalas pelukan itu. Diusapnya pelan punggung Ibunya.

"Aku tidak akan mengecewakan, Ibu. Aku hanya ingin menjadi kuat. Lebih dari apa yang Ibu pikirkan. A-a-ku bukan gadis yang lemah."

Malam itu, gelagar guntur tidak terdengar lagi. Kelabu awan cepat digantikan oleh sinar terang milik purnama yang bertengger pada kanvas hitam. Dan malam itu, Xaviera mendapatkan restu untuk memperjuangkan sebuah balas dendam yang selama ini ditahannya.

"Aku akan menemukan dan membunuh kalian dengan caraku sendiri."

***

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang