hanya ingin melindungi

19 3 0
                                    

Rintik hujan bergemelatuk pada atap-atap kastil Menkalinan. Melalui kaca jendela, Xaviera bisa melihat titik-titik air hampir memenuhi setiap bagian kaca berukiran mozaik rubah oranye. Gadis itu mendengkus, dia memikirkan sesuatu selagi Altair berbincang sebentar dengan Bu Violin. Entah apa yang mereka bahas, Xaviera tidak ingin tahu.

Setelah beberapa menit lewat, Xaviera melihat Altair telah rampung, kemudian berlari kecil ke arahnya berdiri. Seperti biasa sebuah senyuman selalu pemuda itu sunggingkan untuk menyambut Xaviera, padahal sejak tadi mereka kerap bersama.

Xaviera memikirkan sesuatu, terutama soal Altair yang tiba-tiba memeluknya tanpa seizinnya. Bukan apa-apa, Xaviera bisa merasakan debaran tipis terasa mengganggu fokusnya sekarang. Semoga saja Altair tidak melihat kedua pipinya yang mulai memerah.

"Ayo, sebentar lagi kelas strong and power akan dimulai, Xaviera." Baru saja Altair hendak menggenggam tangan Xaviera untuk menariknya agar langkah keduanya bisa sejalan, Xaviera buru-buru menepisnya. Tergesa, gadis keriting itu berjalan cepat lebih dulu ke depan tanpa menoleh sama sekali ke belakang. Dia pun tidak menunggu Altair.

Sedangkan Altair masih diam di tempatnya. Tidak pikir panjang, pemuda itu menyusul langkah Xaviera yang perlahan menjauhinya.

"Tunggu aku, Xaviera!" teriaknya.

Kelas kali ini adalah kelas strong and power. Kelas yang diperuntukan untuk seluruh siswa angkatan di Menkalinan School. Baik penyihir berdarah campuran atau pun murni.

Begitu sampai, Lunar langsung menyambut Xaviera. Akhir-akhir ini, Xaviera ering bertemu dengannya di kelas-kelas khusus. Membuat keduanya semakin akrab, tidak hanya di dalam kamar asrama saja.

"Lunar...." Melupakan Altair di belakang, Xaviera berjalan mendekat ke arah Lunar yang berdiri di pojok belakang.

Sudah ada banyak siswa di dalam ruang kelas yang tidak seberapa lebarnya ini, tetapi kalau kalian tahu, tiba-tiba saja ada getaran terasa menghebat. Membuat beberapa benda bergoyang dan berjatuh. Nyatanya, guru yang memakai kacamata tebal bernama Pak Timotius itu sedang mengayunkan tongkat sihirnya sambil memejamkan kedua mata. Dia seperti dirijen pada paduan suara.

"Apa yang sedang ter--" Refleks, Xaviera memelotot ketika melihat ruangan ini melebar dengan sendirinya. Sisi kanan ruangan tertarik ke arah luar. Jendela kaca yang tadinya berjarak tidak jauh dari tempat Lunar berdiri, kini berpindah cukup jauh ke samping.

"Selamat datang anak-anakku di kelas strong and power. Bisa kalian liat bukan? Ruangan ini bertambah lebar. Karena apa? Saya ingin menyediakan ruangan dengan konsep lega untuk kalian tercinta. Supaya tidak berdesakan, lalu mendadak sesak napas."

Seluruh siswa yang ada di dalam ruangan mendadak berisik. Beberapa menggelengkan kepala, sisanya saling berbisik satu sama lain. Mungkin mereka terkejut oleh perubahan mendadak ini. Sama seperti Xaviera. Gadis itu masih mematung di tempatnya. Tidak menyangka akan bersekolah di sekolah sihir terhebat di dunia.

"Xavier, kenapa kamu meninggalkanku sendiri di belakang? Apa aku membuatmu kesal?" Altair baru saja sampai, dia langsung mendekati Xaviera. Lunar telah berpindah tempat, dekat dengan jendela kaca yang menjauh itu.

"Aku ha-hanya ingin cepat-cepat ke kelas, Altair. Lihat, ruangannya melebar!" jawab Xaviera menahan gemetar di tubuh. Ada perasaan aneh yang merambat.

Altair menaikan kedua alis, kemudian mengendik. "Hu'um, baiklah. Kukira karena aku telah melakukan suatu kesalahan. Kalau begitu...."

Xaviera menoleh ke arah Altair. Ucapan pemuda itu menggantung, membuat dirinya penasaran. Ada apa? Kalau begitu kenapa? batin Xaviera.

***

"Untuk apa, Xaviera?"

"Tidak, aku hanya ingin tahu saja keberadaan pintu rahasia itu, Altair. Pasti kamu tahu di mana letaknya, 'kan?"

Permintaan dari Xaviera membuat Altair sedikit terkejut. Bagaimana tidak? Gadis itu memintanya untuk menemani mencari pintu rahasia yang notabener sebagai tempat Hydra dikurung selama bertahun-tahun lamanya. Bukan menolak, Altair hanya tidak ingin masalah datang lagi seperti kemarin. Hydra muncul di balik kelabu asap pekat, sedikit membuatnya khawatir soal Xaviera.

Belum mau menjawab, Altair hanya diam selagi kedua matanya melihat arah lain.

"Bahaya, Xaviera. Aku tidak berani mengantarmu ke sana," jawabnya diiringi helaaan napas.

"Altair, aku ha--"

"Aku tetap tidak akan mengantarmu, Xaviera. Pintu itu tersembunyi dan hanya bisa terlihat oleh penyihir dengan kemampuan melihat masa lalu," jelas Altair.

"Melihat masa lalu?" Xaviera tidak mengerti. Dia memilih menyudahi keinginannya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Altair sendiri.

"Maaf, Xaviera. Aku hanya ingin melindungimu."

Xaviera terus berjalan menjauhi ruangan kelasnya tadi. Tidak tentu arah, hingga dia berbelok ke sebuah balkon yang mengarah langsung ke arah pemandangan luar. Tampak hutan pepohonan mati serta menara mercusuar dari kejauhan.

Angin menerbangkan rambut Xaviera, gadis itu menghirup oksigen dalam-dalam. Aroma petrikor yang tercium selepas hujan masih menyerbak ke mana-mana. Tetesan air terlihat jatuh tepat di punggung tangan Xaviera.

"Dingin. Sedingin Menkalinan. Aku rindu desaku," gumamnya.

Tanpa sadar, telah berdiri seseorang di belakangnya. Hanya sebuah seringai yang tampak di antara kegelapan. Perlahan, dia memajukan langkahnya, mendekat ke arah Xaviera. Mencoba meraih tubuh si gadis keriting, tetapi kemudian satu hunusan pedang imaji mengenai kepalanya. Dia menghilang seolah diterpa angin ribut.

Xaviera merasa ada yang memperhatikan, dia spontan menoleh ke belakang.

"Ve-vesta?"

"Jangan terlalu sering melamun," ujarnya sambil menaruh kembali tongkat sihir ke dalam saku celana.

"Hah?"

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang