Keheningan masih menyelimuti keduanya. Xaviera dan Prof. Timotius. Mereka duduk bersebelahan dengan jarak yang cukup berjauhan. Keduanya belum ada yang memulai pembicaraan. Bahkan, Xaviera sendiri terlarut dalam perenungan. Kejadian tadi menyadarkannya akan sesuatu. Soal kekuatan yang sampai hari ini belum ditemukan. Meskipun, beberapa orang pernah memberitahu bahwa Xaviera memiliki emosi yang bisa mengundang kekuatannya.
Namun, Xaviera belum percaya dengan semua itu. Karena dia belum pernah melihat secara langsung kekuatan itu. Apa mungkin? Satu pertanyaan muncul dalam benak Xaviera, lalu helaan napas terdengar lagi. Xaviera buntu. Dia bingung terhadap dirinya sendiri. Mungkin benar, kalau penyihir berdarah campuran seperti dirinya tidak akan mungkin memiliki kekuatan apa pun.
"Jangan dipikirkan soal pernyataan tadi. Si tudung hitam itu hanya meracau asal ta pa dasar yang jelas," ucap Prof. Timotius mengalihkan atensi Xaviera. Kini, gadis itu menoleh ke arah lelaki dengan kecamata tebalnya bertengger di hidung dan agak melorot. Belum lagi separuh rambutnya botak serta beruban.
Tetapi, lagi-lagi pernyataan sedikit menenangkan hati itu tidak mempan terhadap Xaviera. Si gadis keriting mendengkus pelan. Kedua bahunya membungkuk ke depan. Dia menunduk, menatap bayangannya sendiri yang sedang duduk si tembok pembatas antara lorong dengan taman sekolah.
Xaviera bisa melihat sekilas rerumputan hijau yang mengelilingi air mancur yang mengalir dan ada patung angsa menari sebagai pelengkap, letaknya di pertengahan. Beberapa siswa terlihat mengitari sambil melempar kerikil kecil dan koin emas untuk merapal harapan.
"Tapi, kemungkinan dia benar. Aku adalah penyihir muda berdarah campuran yang tidak berguna. Buktinya, kekuatan yang ada di diriku, sama sekali takpernah muncul ketika aku ingin. Aku ragu oleh perkataan teman sekelasku, bahkan Bu Violin mengatakan aku memiliki kekuatan yang berbeda dan sangat kuat."
Panjang lebar pernyataan itu terlontar begitu saja dari mulut Xaviera. Dia tidak sadar sedang berbicara dengan siapa.
Prof. Timotius berdeham. "Itu hanya kemungkinan yang entah benar atau tidak. Jangan terlalu banyak pesimis. Sebentar lagi kamu akan tahu, seberapa besar kekuatan yang kamu miliki sekarang."
Setelah berkata seperti itu, lelaki setengah baya itu berlalu pergi tanpa pamitan, meninggalkan Xaviera yang masih terduduk, menunduk. Sesaat kemudian, gadis itu menegakan kepala, lalu menoleh ke arah Prof. Timotius yang perlahan menjauh dari tempatnya tadi.
"Kuharap begitu. Semoga saja aku segera mengetahuinya," gumamnya.
Sesaat kemudian, suara tepuk tangan milik seseorang membuat Xaviera spontan menoleh. Sosok yang pernah dia temui, bahkan sebelum resmi menjadi siswa Menkalinan.
"Bravo! Akhirnya kita ketemu, penyihir muda berdarah campuran! Ha-ha," ucapnya sambil menyeringai tipis.
Ya, dialah Sunny Moonlight. Gadis berambut hitam dengan tatapan tajam yang pernah membuat keributan di dekat rumah Paman Jack, ketika Xaviera berkunjung ke sana. Entah apa penyebabnya, Xaviera tidak tahu pasti, yang jelas kini keduanya saling melempar tatapan sengit satu sama lainnya.
Belum ada respons yang keluar dari mulut Xaviera. Gadis itu baru mengubah posisi duduknya menjadi berdiri menghadap Sunny yang tidak jauh darinya sekarang.
Sunny menyilangkan kedua tangannya ke perut. Dia perlahan maju, mendekati Xaviera. "Well, well, well. Kenapa kamu sangat ingin ke sini? Apakah karena Hydra yang akan memakanmu hidup-hidup? Baguslah kalau begitu," ucapnya disertai tatapan sinis.
"Untuk apa aku mengutarakan keinginanmu? Lagi pula kita tidak terlalu dekat. Buang-buang waktu saja." Jawaban Xaviera to the point. Dia tidak menerima begitu saja ucapan Sunny. Baginya, untuk masuk ke Menkalinan adalah pencapain luar biasa. Sebab, ini semua demi membalaskan dendam atas kekejaman penyihir bertudung hitam yang membunuh ayahnya di depan mata.
Sunny terkekeh. "Salam kenal, aku Sunny Moonlight. Gadis yang cukup terkenal di Menkalinan. Dan, aku sudah tahu kamu. Xaviera Ronelya Queen yang tempo lalu melakukan penyerangan terhadap The Revenge, 'kan? Ck-ck-ck, luar biasa."
"Memang kenapa? Ada masalah?"
"Tidak ada. Hanya saja, aku heran. Tidak punya tongkat sihir, anak baru, dan terlihat lemah. Apa yang kamu sembunyikan? Kamu pasti punya kekuatan!" Nada bicara Sunny meninggi. Dia menurunkan kedua tangannya, kemudian meraih tongkat sihir yang disembunyikan di dalam jubah hitamnya.
Xaviera agak tersentak. Debaran jantungnya jadi tidak menentu. Dia saja belum tahu apa kekuatan yang dimiliki. Ini, orang lain malah meminta setengah maksa untuk tahu. Kedengarannya bertanya, tetapi seperti mengancam.
"Kalau tidak--" Belum sempat Sunny melayangkan tongkat sihirnya ke arah Xaviera. Ada Altair datang, langsung merangkul Xaviera untuk pergi dari sana tanpa peduli Sunny menatapnya penuh kebencian.
"Altair, apa yang kamu--" tanya Xaviera yang ucapannya terpotong paksa oleh Altair. Telunjuk milik teman masa kecilnya itu menempel di antara bibir Xaviera. Bermaksud menyuruh agar Xaviera tetap diam dan mengikuti langkahnya.
"Jangan sesekali menengok ke belakang," bisiknya.
"Ah, baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
HYDRA [TERBIT]
FantasyKalau bukan karena kematian sang ayah, Xaviera Ronelya Queen tidak akan nekat bersekolah di Menkalinan School, sebuah sekolah sihir yang menyimpan banyak rahasia kelam dan kutukan. Hanya sekolah itulah yang bisa membantu Xaviera menemukan kekuatan...