sekelebat bayangan hitam

20 5 0
                                    

Kedua mata Xaviera membuka secara perlahan. Dilihatnya untuk pertama kali adalah teman sekamar yang menatapnya dipenuhi perasaan khawatir.

"Lu-lunar? Apa yang terjadi? Kenapa kelas ramalan tidak ada orang sama sekali?" ucap Xaviera pelan sambil memegangi kedua pelipisnya yang agak nyeri. Dia membenarkan posisi duduknya.

Lunar mendesah pelan. "Hu'um. Kelas sudah selesai daritadi, Xaviera. Aku izin pada Bu Violin untuk menemanimu selagi kamu mendadak pingsan tadi," jelasnya sambil menyugar rambutnya ke belakang.

"Pingsan?" Jujur, Xaviera benar-benar tidak bisa mengingat apa pun soal kejadian di kelas. Dia hanya mengingat bola kristal miliknya di meja terusap pelan, lalu Xaviera mendadak berada di sebuah ruangan gelap. Dia mendengar suara ayahnya meminta pertolongan, tetapi hanya kekosongan yang didapat.

Lunar mengangguk-anggukan kepala. "Benar, Xavier. Ini kedua kalinya aku--" Belum selesai gadis itu bicara, tiba-tiba Vesta datang mengalihkan atensi kedua gadis muda yang masih berada di kelas. Di antara suasana sepi, Vesta melangkah mendekat. Wajahnya datar, membuat Lunar mengernyit dan waswas apabila laki-laki itu melakukan sesuatu yang aneh kepada mereka.

"Vesta?" ucap Xaviera, setengah berbisik.

Sebuah kantong dari kain daur ulang bermotif kotak-kotak merah langsung disodorkan begitu saja. "Ini, buat kamu." Saking pelannya suara laki-laki dingin yang berada di depannya, Xaviera tidak langsung merespons jawaban iya atau tidak. Lebih banyak bengong dan melongo, seperti saat pertama kali dirinya mengekor Vesta berjalan melewati lorong-lorong sekolah.

Helaan napas terdengar, Vesta memajukan langkahnya, menaruh kantong daur ulang di atas meja. Tanpa berucap sepatah kata, laki-laki muda itu berlalu saja meninggalkan kelas.

"Fyuh, dingin sekali dia! Hampir saja bulu kudukku berdiri. Itu tadi apa? Jangan bilang ramuan beracun." Lunar mulai menerka selagi Xaviera menatap lekat kantong yang ada di meja. Tidak butuh waktu lama karena penasaran, Xaviera mencoba meraih kantong itu, lalu dia bisa merasakan ada banyak benda di dalamnya.

Xaviera mengerutkan dahi begitu melihat 10 butir permen warna-warni dan ada sebuah kertas kecil bertulis tangan seseorang.

Ini ramuan permen buatanku. Semoga bisa menghilangkan nyeri di kepalamu.

"Ramuan permen?" Satu bulatan kecil bergaris hitam warna hijau tosca diambil Xaviera, langsung dimasukan ke dalam kulutnya. Rahangnya naik turun dan lidahnya membantu mengecap rasa.

"Enak!"

"Apanya yang enak, Xaviera? Kamu makan permen barusan?" tanya Lunar ketika kembali duduk, setelah melihat pemandangan luar di jendela kelas barusan.

Xaviera mengulurkan tangannya yang menggenggam kantong berisi permen dari Vesta. "Ini, ambillah. Vesta memberikan ramuan permen. Setelah makan satu, pusingku hilang Lunar."

"Aah, aku kurang yakin kalau ini buatan Vesta, tapi apa salahnya mencoba? Jarang sekali si anak dingin itu memberi sesuatu."

Lunar mengambil bulatan besar biru, lalu memasukannya ke mulut. Dua menit mencoba meresapi rasanya, dia mengangguk-angguk sendiri.

"Luar biasa. Kamu tau, Xavier? baru kamu yang berhasil membuat Vesta memberikan ramuan permen seenak ini!"

"Iyakah?"

"Hu'um. Aku tidak berbohong."

Setelah benerapa menit merenung, Xaviera berniat untuk menemui Vesta dan bertanya segala hal soal ramuan permen dan sekolah, tetapi apakah dia bisa? Entahlah, Xaviera hanya ingin mencoba segala kemungkinan yang ada.

***

Sebuah kamar minimalis, tempatnya seorang pemuda pemilik kafe sagitarius. Hanya ada kasur yang tidak seberapa besarnya. Buku-buku terjejer rapi di lemari gantung. Serta beberapa perintilan lain seperti koleksi barang-barang antik. Di bawah tempat tidur ada lima setoples bening yang sengaja ditutup menggunakan kain berlubang.

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang