kekuatan tersembunyi

18 3 2
                                    

"Lebih baik kamu pergi saja dari sini!"

Laki-laki yang disebut-sebut sebagai Hydra itu menyuruh Xaviera agar cepat pergi dari ruangan di balik pintu rahasia. Namun, Xaviera tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya mengernyit mendengar perintah itu, kemudian memajukan langkah kakinya seraya mendekat.

"Pergi!" Suara lantang itu menggema di antara kabut kelabu yang pekat ini. Refleks, Xaviera menghentikan langkahnya. Kedua tangannya perlahan mengepal.

"Apa alasanmu menyuruhku untuk pergi?" tanya Xaviera tidak mengerti. Pertemuan mereka baru saja terjadi dan dirinya sudah akan diusir begitu saja. Barangkali Hydra bukan makhluk yang menyeramkan, tetapi butuh ditolong sekarang. Agar kutukan yang mengubah hidupnya lenyap tak bersisa.

Belum ada tanggapan. Hanya keheningan melanda di antara keduanya. Xaviera tidak sabar menunggu sebuah jawaban. Dia ingin semuanya dengan jelas. Bukan abu-abu begini.

"Kenapa tidak mau menjawab? Apakah mungkin kabar tentangmu itu benar? Bahwa, kamu menginginkan penyihir berdarah campuran agar kutukan lepas dari tubuhmu itu?"

Panjang lebar Xaviera menyatakan apa yang dirasakan di hati. Masa bodoh tidak mendapat tanggapan. Dia yakin, Hydra tidak akan seperti itu. Xaviera hanya memastikan semua kabar burung itu tidaklah benar.

Laki-laki muda itu menunduk. Baru akan menjawab, terdengar tawa dari sekelompok orang yang tiba-tiba saja datang. Mereka keluar dari kabut pekat, perlahan mendekati Xaviera dan Hydra. 

"Ternyata ada dua orang yang sangat spesial. Apakah kita terlambat untuk sebuah obrolan hangat? Tidak, 'kan? Boleh bergabung?"

Jelas terdengar suara wanita dari balik tudung hitam yang berkata disertai tawa meremehkan. Kita bisa melihat dirinya berjalan tegak sambil mengayunkan tongkat sihir secara santai. Diikuti para anggota lainnya sejumlah lima orang. Mereka terhenti tidak jauh dari Xaviera berdiri. Lebih tepatnya mereka sedang melakukan aksi pengepungan secara dadakan.

"Kalian siapa?" tanya Xaviera berusaha tenang. Arah matanya mengitari sekeliling. Apakah mungkin sekelompok penyihir bertudung hitam yang katanya mengincar dirinya?

"Kamu tidak perlu tahu siapa kami, yang jelas tujuan kami hanya satu. Mendapatkan apa yang selama ini telah dicuri oleh ayahmu, Xaviera Ronelya Queen."

Deg!

Mereka tahu nama lengkap Xaviera. Dengan gamblangnya mereka mengucapkan itu tanpa ada kesalahan sama sekali. Hal itu membuat kepalan di kedua tangan Xaviera makin menguat. Dia merasa debaran jantungnya mendadak takbisa dikendalikan. Ada emosi yang menjalar.

Lalu, apakah yang Xaviera curi dari sekelompok orang bertudung hitam di depannya ini? Gadis itu tidak mengerti.

"Aku tidak mengerti apa yang kalian ucapkan," jawab Xaviera lantang. Dia benar-benar ingin keluar dari ruangan yang dipenuhi kabut asap tebal ini.

"Ha-ha. Kamu tidak akan mengerti. Karena semua kebohongan yang disembunyikan oleh ayahmu telah mendarah daging pada anak keturunannya."

Ucapan itu membuat Xaviera berdecak sebal. "Jangan asal bicara soal ayahku. Karena kamu tidak tahu apa-apa soal dia!" tukasnya dengan tatapannya menajam.

"Ha-ha. Dasar anak muda polos. Kamu tahu apa soal dunia? Merasa hebat bisa masuk ke Menkalinan begitu?" Sosok bertudung hitam tadi menjeda kalimatnya selagi memajukan langkah kakinya.

"Kamu hanyalah anak dari seorang pencuri! Jangan harap kamu bisa membalaskan dendam ayahmu, karena kematian yang akan lebih dulu datang padamu!"

Duar!

Kobaran api terlihat di antara kabut tebal. Sosok tadi mengayunkan tongkat sihirnya ke sembarang arah. Xaviera tersekiap. Dia terkejut oleh penyerangan secara tiba-tiba itu.

"Kembalikan barang yang kalian curi!"

Suara wanita itu mendekat cepat ke arah Xaviera. Belum berusaha melarikan diri, salah satu tangan Xaviera terkena bola api yang sengaja dilemparkan ke arahnya. Dia pun meringis kesakitan. Robekan lengan piyamanya terlihat jelas menampilkan luka memar akibat serangan.

"Arrgh," lirih Xaviera. Dia berusaha menahan sakit, kemudian sosok itu kembali menyerang dengan menabrak tubuhnya, membuat Xaviera terjungkal ke depan. Kedua lututnya membentur agak keras ke lantai.

"Dasar kaum lemah! Buat apa kamu masuk ke Menkalinan, hah? Buang-buang waktu saja. Lebih baik kamu serahkan saja barang curian ayahmu itu kepada kami!"

Cipratan darah keluar dari mulut Xaviera. Dia merasakan dadanya nyeri. Dalam hati meruntuki diri, kenapa harus dia yang disalahkan, padahal Xaviera tidak tahu soal barang curian itu. Kedua bawahnya mulai menghangat. Dia merasa air matanya sebentar lagi tumpah.

"Berhenti!" Tiba-tiba, laki-laki muda yang sejak tadi diam menatap penyerangan sekelompok bertudung hitam pada Xaviera berteriak keras. Dia merentangkan kedua tangannya, lalu seketika sekujur tubuhnya mengeluarkan aliran api yang menyala-nyala. Rambut yang menutupi separuh wajahnya terangkat, memperlihatkan kedua matanya yang kini nenyerupai mata ular.

Xaviera bisa melihat laki-laki itu perlahan berubah menjadi ular besar. Silaunya cahaya membuat penglihatan terbatas. Xaviera menyipjtkan kedua mata. Hingga detik berikutnya dia terjatuh karena menahan sesak dalam dada. Namun, dalam ketidaksadarannya, dia masih bisa melihat ular besar bersisik tajam itu menyerang sekelompok orang-orang jahat tadi.

"Mungkin, aku hanya buang-buang waktu saja," lirih Xaviera. Perlahan kedua netranya menutup.

Seperti terbawa oleh kegelapan. Sayup-sayup Xaviera bisa mendengar suara yang sangat dia kenali. Roberto. Iya, suara ayahnya tercinta memanggil dirinya agar segera bangun.

"Xaviera, anakku. Bangunlah, hari sudah pagi. Waktunya pergi ke sekolah. Ada Altair menunggumu di luar," ujarnya lembut.

Xaviera merasakan usapan lembut pada pucuk kepalanya. Pelan-pelan, dia membuka mata. Untuk pertama kali yang dilihat adalah wajah Roberto sedang tersenyum ke arahnya. Seperti matahari yang baru saja terbit, senyuman ayahnya sangat menghangatkan hati.

"A-yah?" Xaviera mencoba bangun, lalu menarik salah satu tangan Roberto ke dalam genggamannya.

"Ada apa, Xaviera?" tanya Roberto, ketika melihat anak bungsu perempuannya tiba-tiba meraih tangannya.

Ada cairan hangat yang mendadak keluar dari bawah kedua mata, Xaviera berusaha menyembunyikan, tetapi gagal. "Yah, apa aku salah telah lahir ke dunia sebagai penyihir muda berdarah campuran? Kenapa, kenapa orang lain selalu meremehkanku?"

Xaviera bertanya sekaligus menahan gemetar di tubuhnya. Dia merasa takpantas hidup di dunia.

"Siapa bilang begitu? Kamu adalah anakku yang hebat, Xaviera. Keberanianmu melawan arus itu yang membuatku kagum sendiri, bahkan Ayah menduga di masa depan kamu akan menjadi hebat dengan caramu sendiri," jawab Roberto sambil tersenyum. Salah satu tangannya mengambil sebuah kotak hitam, kemudian memberikannya pada Xaviera yang masih terpaku melihatnya.

"Jagalah ini, Xaviera." Kotak hitam itu diterima Xaviera dengan penuh tanda tanya.

"Apa ini, Ayah?"

"Bunga keabadian. Jagalah dia, jangan sampai direbut oleh orang-orang jahat."

Hendak membalas pernyataan Roberto, Xaviera mendadak pusing. Dia memegangi kepala  yang terasa nyeri dengan kedua tangan.

Sedetik kemudian, Xaviera terbangun dari tidurnya. Napasnya tersengal. Bulir-bulir keringat dingin tampak mengalir membasahi pelipisnya.

"Ada apa, Xaviera?" Suara Lunar menginterupsi lamunan Xaviera. Gadis yang baru saja terbangun itu mengusap kedua matanya, lalu mengernyit melihat Xaviera yang masih bergeming.

Apakah semuanya tadi adalah mimpi?

Tanpa menjawab pertanyaan Lunar, hanya gelengan kepala yang diperlihatkan oleh Xaviera, lalu gadis itu merebahkan diri lagi.

Aku benar-benar bingung, lalu apa itu bunga keabadian?

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang