obrolan hangat

42 17 42
                                    

Menjelang malam, ketika senja perlahan kembali ke peraduan. Semburat merah jingga tergantikan oleh kanvas putih meredup menjadi kehitaman, kereta kuda itu menepi ke sebuah rumah kecil berdinding kayu jati cokelatan. Kepulan asap menyembul dari cerobong di atapnya. Tampak seorang pria paruh baya melambaikan tangan. Sepertinya, sejak tadi dirinya telah berdiri di depan rumah menunggu kehadiran Paman Frans beserta Xaviera dan Bibi Petunia.

"Akhirnya, kau datang juga, Frans! "

Langkahnya mendekat, kemudian membantu Paman Frans mengarahkan kereta kuda ke pekarangan samping rumah kecil miliknya. Xaviera turun, langsung menyapa pria paruh baya itu, taklupa menerbitkan senyum.

"Sudah kubilang, aku pasti tepat waktu, Jack. Apa kabar?" Selepas turun dari kereta kuda, Paman Frans langsung memeluknya. Kalau Xaviera tidak salah dengar, paruh baya itu bernama Jack. Terlihat sama seperti Paman Frans. Guratan halus hampir memenuhi keseluruhan bagian wajahnya, tetapi semangatnya jauh lebih baik daripada Xaviera yang terkadang loyo.

"Salam kenal, Paman. Saya Xaviera." Xaviera menyapa ramah.

"Salam kenal, Xaviera. Apa kamu benar-benar sudah siap untuk menjadi siswa Menkalinan? Kulihat kamu--"

Belum selesai bicara, Xaviera memotong ucapan Paman Jack. "Benar. Aku sangat siap menjadi siswa di sana, bahkan penyihir terbaik di seluruh dunia!" jawabnya menggebu.

Bibi Petunia berdecak sebal. "Jack, kau lupa denganku? Tidak dua orang saja yang menghampirimu, ada aku." Wanita bertubuh gempal itu tampak mengerutkan dahi, kemudian Paman Jack tersenyum sambil membentangkan kedua tangan ke arahnya. Seolah mengajak berpelukan atas kesalahan mengabaikannya barusan.

"Oh, wanitaku yang cantik jelita. Siapa yang lupa? Tidaklah, ayok sekarang kita saling melepas kerinduan, mumpung kamu tidak terikat oleh siapa pun." Belum sampai pada tempatnya, Bibi Petunia menjauh, takingin mendapat dekap dari Paman Jack. Dia mencibir, lalu berjalan ke arah rumah kecil yang sorot lampunya telah memanggil untuk masuk.

Xaviera menggelengkan kepala. Melihat tingkah ketiga paruh baya itu membuatnya sadar, kalau sifat kekanakan akan tetap ada, meski umur semakin menua.

***

"Benar. Menkalinan memang menyimpan banyak rahasia. Salah satunya ular besar jelmaan manusia." Suara Paman Jack menginterupsi perhatian Xaviera, selagi dia menatap sekeliling. Topik utama obrolan malam ini sangat menarik.

"Ular jelmaan manusia? Maksud Paman, itu seperti siluman?" tanya gadis keriting yang duduk di ujung dekat pintu masuk. Sorot matanya tampak berbinar menunggu sebuah jawaban.

Paman Jack mengangguk. "Benar, Xaviera. Konon katanya, ular itu adalah jelmaan seorang laki-laki muda. Mungkin, seumuran denganmu," jelasnya. Tidak berlangsung lama, Bibi Petunia datang membawa senampan berisi minuman hangat dan juga makanan ringan. Hal biasa ketika berkunjung ke sini, menyiapkan jamuan sendiri. Dia tahu, Paman Jack tidak serajin itu.

"Terima kasih jamuannya Petunia. Ha-ha. Maaf, kalau aku terkesan menyuruhmu. Kamu tau, kan, aku tidak telaten melayani tamu?"

Suara dengkusan terdengar. Diikuti decakan sebal, tetapi Bibi Petunia tetap menaruh nampan ke atas meja, lalu memindahkan dua piring beserta empat mug berisi cokelat hangat.

"Makanya, menikahlah! Supaya ada yang mengurusmu, bapak guru yang terhormat. Lihat, dapurmu dipenuhi oleh kotoran tikus," cibir Bibi Petunia.

Angin malam berembus menimbulkan suara berisik pada ranting pepohonan. Sayup-sayup, terdengar unicron milik Paman Frans menghentakan kakinya ke tanah. Xaviera menatap sekilas ke luar jendela, tampak purnama telah bertengger cantik di langit sana.

"Bisakah kita melanjutkan cerita tentang Menkalinan? Supaya tidak kemalaman pulang ke Desa Aquila. Besok aku harus bergegas menyiapkan keperluan untuk dibawa ke sekolah sihir itu," sela Xaviera. Gelak tawa di antara dinginya malam terjeda, lalu Paman Jack melirik Xaviera sembari menaikan salah satu alis. Dia membenahi cerutu di mulutnya. Seketika kepulan asap menguar keluar. Aroma tembakaunya sangat kuat, seolah menusuk rongga hidung.

"Hydra. Nama ular besar itu. Dia dikutuk karena melanggar peraturan oleh ayahnya sendiri. Parahnya, Hydra sempat membunuh penyihir muda berdarah campuran, yang jasadnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang."

Terasa bulu kuduknya meremang, Xaviera mengusap-usap kedua lengan tangannya yang terbalut oleh sweater tipis.

Paman Frans berdeham. "Aku dengar, itu hanya kabar kaleng saja, Jack. Belum ada yang memastikan kebenarannya seperti apa," sahutnya, lalu mengambil sepotong ubi rebus yang kulitnya berwarna ungu.

Anggukan kepala sebagai persetujuan. Paman Jack membenarkan hal itu. "Iya, tapi kita tetap harus waspada. Hydra adalah ular besar. Tingginya kira-kira seperti hulk. Belum lagi punggungnya berduri," ucapnya penuh penekanan.

Setelahnya, hening menyergap ruang tamu berukuran minimalis itu. Tiap kepala sibuk dengan pikiram masing-masing. Xaviera masih menimang apa yang ingin ditanyakan pada Paman Jack.

DUM!

Tiba-tiba saja, terdengar suara ledakan dari luar. Membuat lantai rumah sedikit bergetar. Lukisan abstrak yang tergantung dekat perapian berubah miring ke kiri.

"Ada apa?" Paman Frans langsung beranjak dari kursi menuju pintu ke luar.

Kobaran api merah biru tampak membumbung tinggi, takjauh dari rumah Paman Jack berada. Xaviera menajamkan penglihatannya guna mencari asalnya api itu dari mana, tetapi perhatiannya teralihkan ketika unicron milik Paman Frans lepas dari kaitan kereta.

"Paman, unicronmu hilang!" Xaviera setengah berteriak.

"Dia di sana!" teriak Bibi Petunia selagi mengacungkan salah satu tangannya ke arah hutan hijau.

Terlihat lontaran cahaya milik unicron ke arah kobaran api yang telah menghanguskan pepohonan sekitar. Cahaya biru berhasil dihempaskan oleh sosok bertudung yang berdiri tak jauh darinya. Samar-samar, Xaviera bisa melihat sebuah tongkat sihir diayunkan ke arah unicron itu.

"Hentikan!" Namun, sebelum itu terjadi Paman Jack berteriak, bermaksud menghentikan sebuah aksi yang akan memicu keributan lagi.

"Rupanya, aku telah melewatkan sebuah perkumpulan," sindir sosok bertudung hitam yang perlahan mendekat selagi Paman Jack berjalan ke arah unicron milik Paman Frans, berniat membawanya kembali ke tempat.

"Sunny? Sedang apa kau di sini?" tanya Bibi Petunia. Dia mengenal sosok itu. Remaja muda sama seperti Xaviera. Bedanya, hanya pada rambut yang lurus nan hitam legam. Sorot matanya pun begitu tajam.

Kedua alis Sunny terangkat. "Hanya melakukan penyambutan. Sepertinya ada orang baru yang datang kemari, tapi sayang darahnya tidak selurus dengan kaum kita."

"Sudahi omong kosongmu, gadis muda. Lebih baik kamu kembali ke asrama saja, daripada mengacau di luar. Kamu tidak takut hukuman menantimu?" Alih-alih, menurut perkataan sang guru, gadis itu tampak memajukan kakinya. Lirikan tajam berhasil dilemparkan tepat ke sasaran-Xaviera.

"Ah, seharusnya aku lebih cepat. Sehingga bukan hanya pepohonan saja yang terbakar, tapi si darah campuran ini!"

Ucapan itu membuat kedua tangan Xaviera mengepal kuat. Ada gemuruh menjalar di dalam dadanya. Siapa dia? Bisa-bisanya, tidak tahu nama dan tidak kenal, tapi sudah meremehkan. Gila!

"Pulanglah, Sunny! Pulang! Atau, aku akan laporkan kamu pada Profesor Klen." Ancaman Paman Jack berhasil meruntuhkan. Secepat kilat, gadis muda berambut hitam itu pergi dan menghilang di antara sisa-sisa asap dari perbuatannya tadi. Seperti ditelan malam, keheningan kembali menyambut. Suara-suara jangkrik terdengar bersahutan.

"Lebih baik sekarang kalian pulang. Untuk Xaviera, tidak usah dipikirkan perkataan Sunny tadi. Dia hanya gadis muda yang hobi mengacau. Kamu harus istirahat. Besok, adalah hari pertamamu masuk sekolah."

Binar mata Paman Jack sangat menenangkan Xaviera yang menyimpan gemetar. Dia tahan sebisa mungkin untuk tidak berlanjut emosi akibat ucapan Sunny. Alhasil, obrolan malam itu dipaksa berhenti. Kereta kuda pun berjalan perlahan meninggalkan rumah kecil milik Jack.

***

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang