kedai sagitarius

24 9 5
                                    

"Satu cocktail untuk meja nomor enam!"

Suara milik seorang pemuda itu sedikit menginterupsi beberapa pasang mata yang ada di sebuah kedai pertengahan Desa Cruck dengan ruangan tidak terlalu luas, dindingnya kecokelatan terbuat dari kayu. Ada satu tiang penyangga dari batang pohon besar letaknya di tengah, di antara meja-meja pelanggan. Setiap sudutnya terdapat lilin aromatheraphy sebagai pengharum dari bau-bau keringat pelanggan kedai yang terkadang membuat sesak napas.

Terlihat nampan berisi satu minuman merah menyala dengan potongan lemon sengaja ditaruh pinggiran gelas, dibawa oleh pemuda semampai menuju meja pesanan nomor 6. Celemek cokelatnya menutupi kaus putih yang dikenakan, serta rambut gondrongnya terkucir rapi ke belakang. Kita bisa melihat wajahnya yang cukup tampan. Mungkin itulah penyebab banyak perempuan sengaja datang ke kedai kecil ini. Alih-alih, sekadar memandang indahnya ciptaan Tuhan.

"Ini pesanannya, Nona. Silakan kalau mau ada yang dipesan lagi, bisa panggil saya atau yang lain." Pemuda itu berucap lembut, lalu pergi setelah selesai mengantar. Tanpa sadar, perempuan bertopi ungu yang baru saja dilayaninya merasa kepanasan. Sebab, kehadiran pelayan kedai sekaligus pemilik barusan membuat aliran darahnya dipenuhi oleh bunga-bunga.

"Hardan, ada satu pesanan aneh dari seorang supranatural. Menunya tidak ada di kedai kita, tapi dia rela membayar lebih jika kita mau membuatkannya," ucap pemuda pendek bertopi hitam setelah membaca sebuah kertas kecil. Wajahnya dipenuhi peluh. Sejak tadi sibuk berjibaku di kasir melayani pelanggan.

Hardan Sagitarius. Pelayan sekaligus pemilik kedai belum merespons. Sesaat dia mengulum bibirnya, mencoba berpikir. Sedetik kemudian dia membisikan sesuatu pada Zulen--si pemuda pendek--salah satu partner kerjanya.

Helaan napas terdengar. "Apa boleh begitu, Hardan? Aku rasa bahan baku kita untuk membuat sup itu tidak ada." Zulen menjawab jujur.

Si pemilik wajah oval berahang tegas tetap yakin pada keputusannya. Hardan pun mengangguk mantap. "Sudahlah, coba kamu tengok ke lemari penyimpanan dapur kita. Ada sebuah kotak warna merah penyimpan segala. Sst, tapi ini rahasia kita berdua, ya. Cepat ke sana, Zul! Pelanggan kita masih banyak yang belum mendapat pesanannya."

Panjang lebar Hardan meyakinkan si penjaga kasir, setelahnya dia kembali  antar mengantar pesanan pelanggan, tetapi langkahnya mendadak terhenti ketika menangkap sosok yang dikenalnya, duduk dekat jendela. Pandangan keduanya saling bertemu. Salah satunya melempar senyuman.

"Ibu?" lirih Hardan.

Maylinda tersenyum dibalik topi berenda warna oranye. Dia menunggu anak sulungnya membereskan satu pesanan lebih dulu.

Sudah lama Hardan tidak pulang ke rumah, bahkan terakhir tiga tahun lalu. Hardan lebih memilih tinggal di kedai daripada pulang ke rumahnya sendiri. Ini bukan karena dia membenci Maylinda atau apa pun soal kenangan masa lalu, tetapi ada misi lain yang sengaja dilakukan Hardan. Berbekal restu ibu, Hardan membuat kedai Sagitarius sekaligus tempat tinggalnya di Desa Cruck.

"Apa kabar, Bu? Ibu baik-baik saja, 'kan?" tanya Hardan, kemudian membalas pelukan Maylinda erat.

Maylinda tersenyum hangat. "Baik, lalu bagaimana kabarmu, Hardan? Semua berjalan lancar, 'kan?" Keduanya pun duduk berhadapan. Segelas air mineral datang diantar oleh Zul untuk Maylinda.

"Lancar, Bu. Ah, minumlah air dingin ini, Bu. Ibu pasti kelelahan berjalan dari desa Shaula ke sini, 'kan?"

Maylinda menggelengkan kepala, lalu dia melepas topi dan menaruhnya di pangkuan. "Tidak, Har. Aku ke sini naik kereta kuda dan diantar oleh Paman Julian. Kamu tahu dia bukan?"

"Si pedagang buah yang paling rajin berkelana. Benar, kan, Bu?" Hardan menebak-nebak. Dia sedikit tahu soal Paman Julian. Sedari kecil dia kerap ikut berkelana bersama pria tua yang hidup sendiri sambil berdagang itu. Berbagai pengalaman Hardan dapatkan. Salah satunya tentang cara jual beli yang jujur.

Anggukan kepala sebagai jawaban. "Benar. Beliau menghampiri Ibu ketika berkunjung ke pasar. Katanya, dia tau kalau Ibu akan pergi ke sebuah tempat. Dia lalu menawarkan tumpangan."

"Semoga dia selalu dilindungi oleh semesta ya, Bu. Orang-orang baik itu mahal harganya," ucap Hardan selagi jemarinya diketuk-ketukan ke atas meja.

"Apa kabar Xaviera, Bu? Apakah dia masih suka menghabiskan masakan Ibu di rumah?" tanya Hardan lagi. Perpisahan dengan saudara kandung selalu meninggalkan seberkas kerinduan tersendiri.

Diambillah gelas bening berisi air dingin, kemudian diminum sedikit, setelah itu Maylinda menghela napas seraya menjawab pertanyaan Hardan barusan. "Xaviera pergi ke Menkalinan, Hardan. Terhitung sejak empat hari yang lalu." Suara Maylinda terdengar pelan. Dia memberi instruksi agar Hardan tetap tenang, sebelum sulungnya itu terkejut.

"Apa? Xaviera ke Menkalinan? Buat apa, Bu? Kenapa Ibu memberi izin? Ibu tau, kan, kalau di sana...." Hardan tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menggelengkan kepala yang mulai berdenyut, mendadak pusing tujuh keliling.

"Ibu tau, tapi tekadnya sudah bulat, Hardan. Dia ingin sekolah di Menkalinan."

Hardan berdecak kesal. Dia mulai gusar. Paham betul, bahwa Menkalinan bukan sekolah yang aman untuk Xaviera. Mengingat kekelaman dan kutukan yang ada di sana.

"Siapa yang akan melindungi Xaviera di sana, Bu? Apakah aku harus meninggalkan kedaiku untuk menyusulnya?"

"Tidak usah. Biarkan dia menggapai impiannya, Hardan. Kamu harus percaya adik perempuanmu sendiri." Nada tenang Maylinda sedikit menyadarkan Hardan yang kini netranya mengarah ke pemandangan luar kedai.

"Aku hanya khawatir dan merasa berdosa bila gagal menjaganya, Bu. Terlebih jarak kita terpantau berjauhan sekarang. Aku tidak mau kehilangan salah satu bagian keluargaku lagi. Cukup Ayah yang membuatku harus pergi meninggalkan Desa Shaula."

***

Keheningan masih melanda dua sejoli di dekat pelataran perpustakaan Menkanlinan. Setelah insiden kegaduhan yang disebabkan oleh The Revenge, Xaviera dan Altair menepi ke tempat lain yang lebih tenang selagi menunggu Paman Jack datang.

Altair menyandarkan punggungnya ke pilar penyangga, lalu dia memejamkan kedua matanya sejenak. Di sebelahnya, Xaviera tentu merasa kasihan melihat kondisi teman dekatnya.

"Kamu yakin sudah baik-baik saja? Atau, kita lebih baik ke bagian perawatan saja, Altair," ujar Xaviera.

"Yakin, Xaviera. Lihat, aku sudah bisa tersenyum kepadamu." Jawaban yang membuat Xaviera berdecak sebal. Sempat-sempatnya Altair bercanda disertai tawa saat keadaannya belum cukup baik. Wajahnya masih tampak pucat.

Xaviera melipat kedua tangannya ke perut, merasa ragu dan ingin menarik Altair pergi ke bagian keperawatan. Supaya ditangani dokter sekolah agar keadaannya berangsur membaik.

"Jangan banyak tersenyum. Sekarang aku sedang serius, Tuan Muda. Aku khawatir dengan keadaanmu. Kamu baru saja tercekik. Napasmu dipaksa berhenti."

"Aku lebih khawatir terhadapmu. Apa kamu ingat soal kejadian tadi? Kamu mengeluarkan kobaran api dan membuat The Revenge mundur perlahan."

Setengah melongo Xaviera mengendurkan lipatan tangannya, kemudian memajukan duduknya, mendekati Altair. "A-aku? Kenapa? Aku hanya ingat terakhir kali tubuhku dilempar, lalu rambutku dijambak. Selebihnya aku ... tidak tau."

Altair tersenyum simpul. "Aku tidak akan memberitahumu sekarang, tetapi yang jelas kekuatanmu itu berasal dari bunga keabadian. Bunga yang diincar oleh banyak kelompok penyihir jahat. Oleh karena itu, mulai detik ini aku akan menjadi sayap pelindungimu, Xaviera."

***

Beuh, sayap pelindungimu, atau...

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang