lorong tanpa jalan keluar

17 2 0
                                    

"Tunggu!"

Vesta menghentikan langkahnya begitu mendengar Xaviera memanggil. Nada suara gadis itu sedikit meninggi dan penuh penekanan. Agar Vesta benar-benar memberinya atensi, bukan langsung pergi tanpa sepatah kata apa-apa.

"Terima kasih," ucap Xaviera. Dia menjeda kalimatnya sejenak, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih untuk ramuan permennya," imbuhnya.

Terjadi keheningan untuk beberapa saat. Ungkapan terima kasih yang diutarakan oleh Xaviera belum menjawab balasan. Vesta masih diam di tempatnya. Tidak terlihat dirinya akan memutarbalikan tubuhnya, kemudian melambaikan tangan pada gadis di belakangnya.

Merasa diabaikan, Xaviera mendesah, lalu memajukan beberapa langkahnya ke depan. "Aku hanya penasaran, kenapa kamu selalu diam dan pergi begitu saja?"

"Tidak ada apa-apa." Setelah menjawab dengan singkat, padat, dan jelas, Vesta berlalu saja meninggalkan Xaviera. Tinggallah suasana keheningan yang merambat. Menemani Xaviera yang tampak keheranan oleh sikap Vesta barusan.

"Benar-benar dingin."

Xaviera kemudian berjalan melewati lorong-lorong. Dia ingin ke taman sekolah. Ingin mendinginkan pikiran sejenak. Begitu pula dengan emosinya. Tujuan ke Menkanlinan adalah untuk membalaskan dendam bukan meladeni hal-hal aneh dan abu-abu, tetapi kenapa sampai detik ini Xaviera belum menemukan secercah kekuatan yang ada dalam dirinya. Apakah dirinya terlambat untuk sadar?

Baru beberapa menit berjalan, kegelapan mulai menyambut Xaviera. Dia berjalan tanpa arah, tidak sadar belokan pada lorong-lorong kastil terlihat menghilang seperti ditelan waktu. Kedua netranya tidak menangkap adanya jalan keluar. Redupnya pencahayaan membuat Xaviera kesulitan memfokuskan penglihatan.

Dia berusaha tenang dan menguasai diri, barangkali karena melamun Xaviera jadi tersesat. Xaviera mencoba berjalan lagi, tetapi setelah beberapa menit dia kembali ke tempat semula.

"Hah?" gumam Xaviera. Terlihat lukisan abstrak di tempat yang sama setiap kali dia melewati jalan yang dituju.

Terpaksa, Xaviera menghentikan langkahnya. Dia berdiri sesekali memejamkan mata, tetapi sama saja tidak ada kejelasan dari jalanan yang dilewati tiba-tiba buntu ini.

"Ha-ha. Kamu sedang kebingungan, ya? Lebih baik menyerah saja. Karena tidak akan ada jalan keluar di sini."

Dalam hening, Xaviera bisa mendengar suara seseorang berjalan mendekat. Entah itu siapa, apakah benar manusia atau jelmaan, yang jelas Xaviera langsung memutarbalikan tubuhnya. Dia menyipitkan kedua mata begitu sosok bertudung hitam mulai menampakan diri dalam kegelapan.

"Kamu siapa?"

Sosok bertudung hitam itu terkekeh. "Kamu tidak perlu tau siapa aku. Aku hanya ingin bilang kalau kamu tidak pantas ada di Menkalinan."

"Tsk. Dan, kamu tidak perlu susah payah untuk menjatuhkan atau meremehkanku," balas Xaviera, sama sekali tidak tersirat perasaan takut. Bahkan, bisa saja Xaviera melempar mantra ke arah sosok itu, tetapi dirinya belum tau bagaimana caranya mengendalikan kekuatannya.

"Siapa yang meremehkanmu? Memang kenyataan kalau kamu tidak dibutuhkan di sini. Asal kamu tau, kalau penyihir berdarah campuran sepertimu hanya akan buang-buang waktu bersekolah di Menkalinan. Lebih baik ikut bersamaku saja, menjadi pemberontak!"

Gelak tawa menggema. Mendengar itu, Xaviera mulai merasakan emosinya perlahan menjalar. Seakan mulutnya dibungkam. Diam menjadi pilihan Xaviera. Dia tidak menggubris ucapan panjang sosok bertudung hitam.

"Kenapa diam? Berarti kamu mengakui kalau tindakanmu sia-sia." Sosok bertudung itu mulai berjalan mendekati Xaviera. Dari balik punggungnya ada tongkat sihir yang tergenggam untuk dilayangkan ke arah sasaran di depan.

"Kamu tidak tahu apa-apa soal niatku. Lebih baik diamlah daripada banyak bicara omong kosong!" tukas Xaviera.

"Ah, jadi kamu ingin aku tahu tentang dirimu? Baiklah, akan kutunjukan." Tidak sampai tongkat sihir hitam itu mengayun, melemparkan mantra, Prof. Timotius datang, langsung mengeluarkan sebuah sihir pelindung. "Enyahlah!" teriaknya, lalu menarik tubuh Xaviera untuk masuk ke dalam jubah cokelat tua. Beberapa detik kemudian, keduanya menghilang dari lorong tanpa jalan keluar.

"Untuk saat ini, kalian bisa lari, tapi tidak untuk keesokan harinya!" Sosok bertudung hitam itu merasakan panas berakhir menghilang dari tempatnya.

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang