the revenge

26 8 3
                                    

"Mau ke mana? Kita belum berkenalan secara resmi dengan penghuni baru itu, Altair Rigel."

Altair menghela napas kasar. Dia menepis cengkraman milik Jason, pemuda berambut cepak yang sekarang menaikan salah satu sudut bibirnya. Dia menatap tajam ke arah Altair disertai tawa meremehkan.

Sedangkan Xaviera hanya menatap heran dari kedua manusia yang tampaknya bersiteru. Dia tidak sadar salah satu tangannya masih dalam genggaman Altair.

"Tsk. Sejak kapan kamu peduli dengan penghuni baru sekolah ini?" balas Altair datar. Dia tidak peduli soal basa-basi penghuni baru atau apa pun itu.

Jason mengusap pinggiran bibirnya, lalu memajukan langkahnya. Sesekali iris matanya melirik Xaviera yang berdiri di belakang Altair.

"Sepertinya dia cantik. Kita hanya perlu tau nama sekaligus berkenalan. Bukankah begitu teman-teman?" ujar Jason lantang dan langsung mendapat sorakan teman sepermainannya.

Ares, pemuda dengan kumis serta jambangnya ikut memajukan langkahnya. "Lagipula, penghuni baru wajib tau siapa kita di sini. Kalau tidak, kamu tau apa yang menjadi risikonya ke depan, Altair si tampan! Ha-ha."

Gelak tawa terdengar lagi, tetapi itu tidak membuat Altair gentar untuk menghadapi The Revenge. Kumpulan empat orang yang sok berkuasa di antara para siswa Menkalinan School. Keempatnya merupakan siswa tingkat tiga yang merasa sudah cukup mendalami berbagai ilmu sihir yang diajarkan. Mereka hobi mencuri ramuan pelindung milik siswa tingkat satu dan dua, termasuk penghuni baru.

Altair berdecak. "Sudahlah, kalian ini bikin sakit kepala. Aku dan penghuni baru ini lebih baik pergi, daripada mendengarkan pembicaraan penuh omong kosong milik sekelompok manusia sampah!"

Altair dan Xaviera baru akan beranjak pergi, tetapi teralihkan oleh suara ledakan terdengar mengecoh banyak perhatian. Terutama siswa lain yang kebetulan berjalan melewati lorong-lorong untuk berpindah kelas. Satu kilatan merah jingga terlempar tepat di depan Altair dan Xaviera berdiri. Keduanya berbalik, mendapati Draco telah memainkan tongkat sihir miliknya secara sengaja.

"Apa kamu lupa, Altair? Junior harus menghormati dan menghargai senior, bukan membantah, lalu pergi begitu saja tanpa salam dan sapa," ucap Antares dingin. Dia melangkah, mendekat ke arah Altair dan Xaviera. Spontan, salah satu tangannya mencekik leher Altair. Laki-laki itu meronta minta dilepaskan.

"Altair!" Kedua mata Xaviera membulat. Dia berusaha menurunkan Altair yang mulai terangkat oleh Antares ke atas. Dibiarkan kesakitan dan sesak napas. Jason, Ares, dan Draco pun tertawa bersamaan, melihat Altair menderita. Seolah itu menjadi pertunjukan menarik bagi mereka.

Tangan kanan Altair mencoba meraih tongkat sihir yang tersimpan dalam saku celananya, tetapi nahas gerak-geriknya terbaca oleh Ares. Pemuda berjambang itu langsung mengambil paksa tongkat sihir milik Altair, kemudian melemparnya jauh-jauh.

"Lepaskan! Kumohon lepaskan dia!" Xaviera memekik, dia mencoba mendorong tubuh Jason agar dia menjatuhkan Altair ke bawah. Melihat wajah Altair mulai memucat serta tenanganya mulai habis, Xaviera tidak terima.

Bum!

Tiba-tiba, sebuah serangan datang lagi. Kini, tubuh Xaviera yang jadi sasaran selanjutnya. Dia terpental jauh ke depan, hingga berguling selama lima kali lamanya. Kepalanya sedikit membentur lantai. Sekujur tubuhnya terasa sakit.

Arrgh.

Setelah berhasil membuat Xaviera merintih, kesusahan untuk bangkit, Draco berjalan ke arahnya masih memegang tongkat sihir yang digunakan untuk melempar gadis keriting itu. Dia mengembangkan senyuman lebar, merasa menang atas sebuah pertandingan kecil barusan.

Xaviera mencoba bangkit dengan kedua tangan sebagai tumpuan untuk membawa tubuhnya terangkat dari lantai.

"Siapa namamu gadis cantik?" tanya Draco seraya mengambil posisi jongkok agar lebih dekat dengan Xaviera. Namun, pertanyaan itu tidak mendapat respons. Xaviera tidak peduli, dia masih berusaha bangun. Karena ada Altair yang harus ditolongnya sekarang.

Merasa diabaikan, Draco berdecak sebal. Tanpa izin, tangan kirinya meraih rambut Xaviera, kemudian menariknya kencang.

"Lepaskan! Arrgh," pekik Xaviera.

Draco terkekeh. "Sakit, ya? Makannya, kasih tau dulu namamu itu siapa, penghuni baru. Jangan banyak gaya, kamu di sini bukan siapa-siapa!" Ucapan itu terjeda sejenak, tatkala Draco makin menguatkan jambakannya. "Cukup sebutkan nama, karena aku sebenarnya tau siapa kamu. Kamu hanyalah penyihir muda buangan dari pulau seberang. Penyihir berdarah campuran yang darahnya benar-benar busuk!"

Perkataan panjang lebar itu seakan menusuk relung hati paling dalam Xaviera. Ada gemuruh yang merambat ke seluruh aliran darahnya. Kedua tangannya berhenti bergerak. Dia menunduk. Sesaat kemudian, kedua matanya menatap lurus ke arah Draco. Tatapan yang tidak biasa. Pupil cokelat kehitaman itu berubah hitam legam tanpa meninggalkan bagian putih sama sekali.

"Kenapa? Kenapa kamu mena-tap-k-ku begitu?" Suara Draco seperti tersendat. Dia menelan ludahnya sendiri. Jambakannya mulai mengendur. Dia bisa merasakan tubuh Xaviera mengalirkan sebuah sengatan listrik.

Tanpa babibu, Xaviera bangkit, arah matanya masih menghunus lelaki di depannya.

"Lepaskan Altair, atau kalian semua akan mati di tanganku," tukas Xaviera pelan, tetapi penuh penekanan.

Duar!

Xaviera mengayunkan tangan kirinya ke arah luar, seketika kobaran api warna biru menyala tampak membakar sebagian rumput hijau taman sekolah.

Altair dijatuhkan begitu saja ke lantai, tanpa basa-basi berlebih, The Revenge meninggalkan Altair yang tergeletak dan Xaviera masih memandangi mereka penuh murka. Keempatnya memilih pergi untuk menghindari kemarahan Xaviera.

Dengan sisa kekuatan, Altair mencoba menolehkan kepala ke arah Xaviera.
"Nyatanya, kamu memiliki kekuatan itu, Xaviera. Aku berjanji akan melindungimu," lirih Altair, lalu kedua matanya menutup sempurna.

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang