awal mula

14 2 0
                                    

"Apa katamu? Di Desa Shaula terjadi penyerangan?" tanya seorang pria dengan celemek putihnya melingkari tubuh kekarnya. Dia menaruh baki berisi kue yang baru saja diangkat dari pemanggangan. Mendengar berita desa terdekat diserang oleh sekelompok penyihir bertudung hitam, dirinya setengah syok dan bersiap untuk menutup toko rotinya yang baru saja buka.

"Benar, Peter," balas pria parauh baya yang baru saja memberi kabar. Dilihat lekat wajahnya yang panik, karena ada seseorang terbunuh di sana.

Tidak jauh dari toko, ada Altair melihat ayahnya bersiap untuk membereskan toko roti, kemudian dia berjalan setengah berlari sambil membawa sepedanya.

"Ayah, ada apa? Bukankah jam tutup toko kita masih nanti?" tanyanya penasaran, apalagi setelah pria paruh baya yang memberi kabar bernama Gecko pergi begitu saja.

Peter belum merespons. Dengan gerakan kedua tangannya yang cepat, dia menaruh roti-roti yang telah matang ke dalam etalase. Sisanya, disimpan ke dalam pemanggangan lagi.

"Cepat taruh sepedamu, Altair. Temani ayah ke desa sebelah." Peter melempar jaket hitam, yang langsung diterima anak laki-lakinya. Sedangkan Altair tetap bingung soal apa yang dikatakan Peter barusan. Dia meremas jaket dalam pelukannya itu.

Ayah, kenapa? Apakah terjadi sesuatu di sana?

Tanpa berpikir panjang, Altair pun segera bergegas mengenakan jaketnya, lalu mengikuti ayahnya yang setengah berlari menerobos lalu lalang orang sekitar dengan segala kesibukan masing-masing.

Sementara kobaran api berhasil dipadamkan setelah sekelompok penyihir bertudung hitan melakukan penyerangan di Desa Shaula, kemudian mereka pergi begitu saja setelah menghilangkan nyawa seseorang.

Isak tangis menggema di setiap sudut. Warga desa belum ada yang beranjak dari tempatnya terkepung, hanya beberapa saja melakukan evakuasi agar keadaan desa dapat terkendali lagi.

Xaviera jatuh duduk ke bawah. Dia merasakan tubuhnya mati rasa. Dia melihat desanya hampir saja diremuk redam oleh sekelompok penjahat. Air mata yang sempat terbendung mendadak mengalir keluar, tetapi tanpa suara isak tangis yang menderu.

"A-yah, ayah," gumamnya dengan suara dipenuhi getaran. Hardan yang berdiri di belakang mendekat, kemudian ambil posisi jongkok, lalu merangkul Xaviera. Dia mencoba menenangkan adik perempuannya. Walaupun sebenarnya dalam hati, dia teriris-iris, karena Roberto telah terbunuh begitu saja.

"Xaviera. Tutuplah matamu jika itu menyakitkan hati," ujar Hardan. Sebisa mungkin tidak mengeluarkan kata-kata yang akan membuat adik perempuannya itu menangis, lalu berlari mendekati kerumunan. Hardan tidak ingin Xaviera melihat jasad ayahnya di sana, kemudian merasakan trauma berkepanjangan karena terbayang-bayang.

"K-ak, kenapa se-semua ini harus terjadi? Kenapa ha-harus ayah?" Suara Xaviera terdengar pilu. Dia memegangi dadanya yang mulai terasa sesak.

Hardan membawa Xaviera ke dalam peluknya. Kedua kakak beradik itu saling melepas duka yang tertahan. Bagaimana pun, Maylinda menyuruh mereka agar tetap menjauh dari lokasi penyerangan. Ini semua demi keselamatan. Maylinda tidak ingin kedua anaknya menjadi incaran.

***

Altair menatap sekeliling. Keadaan Desa Shaula sedikit kacau. Dengan bekas kobaran api di mana-mana. Dia mengikuti Peter berjalan mencari seseorang.

Sesaat kemudian, Altair menghentikan langkahnya begitu melihat sosok anak perempuan berambut keriting sedang berjalan bersama seorang laki-laki muda. Keduanya berdiri tidak jauh dari desa dengan keadaan yang mulai sepi.

Kabarnya, untuk sementara waktu, warga Desa Shaula diperintah menetap di rumah. Dan, jangan banyak aktivitas di luar. Ini perintah kepala desa.

Altair menatap lama anak perempuan itu. Tersirat keinginan untuk mendekatinya, kemudian menarik tangannya, lalu berlari menuju bukit bintang yang ada di belakang kedua desa. Desa Shaula dan Cruck. Atau, ke pantai, mencari gelombang dan lumba-lumba yang melompat ke atas permukaan laut.

"Peter?" Maylinda mendekati Peter.

Peter menurunkan topi dari kepalanya, lalu menunduk. Dia ikut berduka atas kematian Roberto. Setelah mendengar Desa Dhaula diserang, Peter merasa gelisah. Dia teringat oleh teman semasa sekolahnya. Roberto dan Maylinda.

"Aku turut berduka cita, Maylinda. Tabahkan hatimu. Sabarkan jiwamu. Karena ini merupakan kehendak Tuhan atas kematian Roberto," ucapnya pelan.

Maylinda ikut menunduk. Dia mengangguk-anggukan kepala. Jasad Roberto telah diamankan oleh penduduk desa dan akan segera diantar ke rumah duka.

"Terima kasih, Peter. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosanya," jawab Maylinda.

Bingung harus bagaimana, Altair ikut menunduk sama seperti ayahnya. Sesekali dia melirik ke arah Xaviera dan Hardan. Spontan, detak jantung Altair mendadak takkaruan tatkala pandangannya terkunci oleh Xaviera yang juga menatapnya balik.

Entah kenapa rasanya ingin memberinya perlindungan.

***

Begitu keluar toko roti, Altair langsung disambut oleh pemandangan dari semesta. Langit biru nan cerah. Tampak gumpalan awan menyembul di sudut-sudut tertentu, tetapi tidak terlalu banyak.

"Yah, aku pergi sekolah dulu!" pamitnya pada Peter yang sibuk mengadon roti, kemudian lelaki itu melambaikan tangan pada Altair sambil menyunggingkan senyuman.

Altair dengan seragam sekolah sederhananya menelusuri jalanan menggunakan sepeda ontelnya. Dia melewati genangan air entah dari mana sehingga menimbulkan cipratan ke sembarang arah.

Lima belas menit melewati jalanan kecil yang kanan kirinya rumah warga desa, akhirnya Altair sampai juga di sebuah bangunan sekolah yang letaknya hampir di dekat perbatasan antara desa Shaula dan Cruck. Dia langsung menaruh sepeda ontelnya di dekat gerbang depan. Tidak lupa mengamankan dengan rantai yang sengaja diikatkan di ban.

"Lho?" gumam Altair ketika kedua matanya menangkap sosok yang dia temui kemarin sore. Setelah mengecek ulang sepedanya, dia berlari mengikuti anak perempuan berambut keriting itu berjalan dari belakang.

"Kenapa mengikutiku?" Spontan, Altair menghentikan langkahnya begitu tau anak perempuan itu mendadak bertanya tanpa menoleh ke belakang dan tetap berjalan, meski pelan.

Altair bingung harus menjawab apa. Keringat dingin mulai bercucuran. Dia bisa merasakan kedua pelipisnya terasa basah.

"An-nu, aku juga sekolah di sini," jawab Altair junur. Sebenarnya dia tidak bermaksud mengikuti. Hanya mengikuti kata hatinya saha.

"Nama kamu siapa?" tanya anak perempuan itu lagi.

Baru akan menjawab, Altair bisa melihat si pemilik rambut keriting itu memutarbalikan tubuhnya, lalu menatapnya datar. "Kenapa lama sekali menjawabnya?"

Altair mendadak gagap. "Altair Rigel. Kalau kamu siapa?"

"Xaviera Ronelya Queen." Kemudian, Xaviera meninggalkan Altair tanpa mengucapkan rangkaian kalimat lainnya. Namun, itu tidak membuat Altair sebal. Justru dia sekarang tersenyum, karena berhasil mengetahui nama asli si rambut keriting.

Altair berdeham. "Xaviera, ya. Akan kuingat," ucapnya.

HYDRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang