"Kita ngga bisa langsung eksekusi begitu saja, perlu langkah cermat supaya tidak gagal," itulah kata-kata Djati yang langsung Dena dengar, tepat ketika ia memasuki unitnya.
"......"
"Ya, karena memang tujuan awalnya seperti itu. Kita buat dulu mereka saling menyalahkan. Cara menghancurkan rencana buruk bisa kita mulai dari dalam kubu mereka sendiri."
"....."
Dena semakin masuk ke apartemen, dan mendapati Djati sedang berbicara serius dengan seseorang di balik telepon.
"Cukup awasi dulu perkembangannya, aku coba cari taktik baru untuk melancarkan aksi."
"....."
"Jangan langsung disebar, kita buat semuanya mulai keluar dari kerja sama tersebut, baru kita selesaikan dengan matang."
"Oke, aku tunggu kabar baiknya."
Sementara menunggu Djati menyelesaikan perbincangannya, Denara duduk di salah satu kursi.
Di depannya ada TV yang masih menyala. Tayangan yang Djati tonton masih tentang berita penyelidikan kasus Juan.
"Kasus pengusaha terkemuka yang bisnisnya menggurita, Juan, menyeret nama sejumlah pejabat."
"Kasus korupsi pengadaan proyek pembangunan menelan milyaran rupiah."
"Penggerebekan dan penjemputan paksa Juan yang dilakukan semalam, tentu mengejutkan publik. Kini, pihak berwajib masih mengumpulkan saksi-saksi."
"Udah lama?" Denara terperanjat saat tiba-tiba Djati duduk di sampingnya.
"Enggak, belum ada 5 menit."
"Bawa semua pesanku?"
Denara mengangguk lalu mengulurkan ponsel pintar di tangannya kepada Djati.
"Sebelum kemari, tolong periksa lemari kerja papamu,"
"Maksud mas Djati?"
"Cari berkas-berkas perusahaan yang tersimpan di sana kira-kira sejak 25 tahun lalu."
"Mana bisa!"
"Bisa, papamu orang yang sangat teliti. Kamu bisa melihat barisan berkas di lemarinya. Semua ada nama, tahun, bahkan beberapa keterangan penting ada di sana."
"Aku ngga bisa masuk ke sana lagi setelah kemarin bawa berkas. Papa bisa curiga."
"Cuma kamu orang yang bisa aku andalkan. Kali ini aku percaya semua aman."
"Ta-tapi?"
"Nggak perlu bawa berkasnya, foto atau rekam beberapa data yang ada di sana aja."
"Aku ngga tahu benar itu atau bukan berkasnya. Tumpukannya banyak banget. Lagian cuma file itu yang paling lusuh. Sementara yang lain sepertinya data-data baru."
Djati tidak menjawab, ia masih berusaha fokus dengan data yang Denara ambil di galeri.
Beberapa menit kemudian, Djati mengambil ponsel pintarnya sendiri lalu mengirim semua file tersebut ke perangkatnya.
"Udah makan?"
Denara menggeleng pelan, ia memang melewatkan sarapannya hanya demi menjalankan tugas dari Djati.
"Aku tadi beli sarapan, belum kemakan sampai jam segini. Ayo sarapan bersama."
Denara yang memang sudah lapar hanya menurut saja. Ia berjalan di belakang pria itu kemudian duduk di salah satu ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
Chick-LitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...