"Kamu keluar lewat pintu mana?" Tanya laki-laki di samping Denara setelah keduanya diam cukup lama.
"Pintu belakang," jawab perempuan itu singkat, masih dengan raut ketakutan.
"Yakin pas keluar ngga ada orang?"
"Mak-maksud mas Djati?" Denara sedikit mengernyit, perasaannya tiba-tiba saja tidak karuan.
"Kaya ada yang ikutin kita,"
Laki-laki itu menghentikan mobil di depan lampu merah. Jalanan mulai sepi mengingat saat ini sudah jam 10 malam.
"Jangan bikin aku makin takut dong!"
Djati diam sejenak, lalu kembali melajukan mobilnya saat lampu sudah hijau.
"Mau makan dulu?" Denara menggeleng cepat.
"Kita langsung pulang aja yuk, mas."
"Rasanya ngga aman kalau harus mampir-mampir." Pinta perempuan itu sembari memeluk tasnya erat.
"Tapi aku beli minum dulu di toko depan," tunjuk Djati ke arah sebuah minimarket.
Denara mengangguk, sepertinya berhenti di sana tidak masalah. Toh di depan minimarket tersebut cukup banyak orang.
Djati baru saja menekan handle pintu mobil, lalu mengayunkan salah satu kakinya untuk keluar.
Namun tiba-tiba...
Dorrr!!!!!
Semua orang di sekitar minimarket terkejut, begitu juga dengan Denara yang berusaha membaca situasi di luar mobil.
Tatapannya sontak menajam saat melihat Djati tergeletak sambil memegangi pundak kanannya.
"Mas Djati!!"
Denara buru-buru turun, bersamaan dengan beberapa orang yang langsung berkerumun.
"Tolong, tolong!"
Semua orang panik, sebagian lagi mencoba mengejar pelaku penembakan namun tidak tertangkap.
"Panggil ambulance," ujar salah satu dari mereka lalu bergegas mencari nomor rumah sakit terdekat.
Air mata Denara banjir, sambil terus memegangi tubuh Djati dengan tangan gemetar.
Ia tahu sejak tadi perasaannya memang tidak karuan. Tapi Denara pikir, yang akan celaka adalah Dirinya bukan Djati.
........
"Tindakan operasi akan segera kami lakukan. Hanya perlu menunggu ibu dari pasien."
"Operasi?"
"Betul, peluru yang menancap di pundak pasien melesat cukup dalam. Beresiko tinggi mengancam nyawa korban jika tidak langsung dilakukan operasi."
Denara terdiam, isak tangisnya belum juga reda. Ia duduk di kursi tunggu setelah dokter kembali ke ruangannya.
"Lakukan segera yang saya minta! Cari sampai ketemu dan bawa ke hadapan saya."
Hanya kalimat itu yang Denara dengar sebelum berhasil kabur dari rumah Miswar.
Ah, mungkin ini memang salah satu bagian dari rencana papa.
Kalau saja tadi di depan minimarket ngga banyak orang, si penembak pasti akan melakukan hal yang lebih parah.
Derap langkah kaki menyadarkan Dena dari lamunan, ia beranjak berdiri saat tahu ibu Djati datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...