Tidak ada yang Denara dapati pagi ini, selain bangun dalam keadaan linglung.
Mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dirinya ketiduran, tentu hanya akan menambah pusing di kepalanya.
Mata Dena mengerjab beberapa kali, sebelum akhirnya melepas selimut tebal yang kini membungkus rapat tubuh perempuan itu.
Menggerakkan kaki hingga menggantung di sisi ranjang yang tinggi, Dena berhenti sejenak demi mengamati ruangan di sekelilingnya.
Tidak banyak barang yang ada di sana, hanya kamar tidur berukuran besar, meja kecil di sampingnya, serta lemari pakaian yang cukup tinggi.
"Ah, aku masih di apartemen mas Djati." Lirih perempuan itu sontak menepuk keningnya.
Sedikit terharu karna laki-laki itu masih punya hati, setidaknya tidak mengusir dirinya. Bahkan Djati mau memberikan salah satu ruangan untuk Denara gunakan.
Meskipun kenyataannya, kejadian semalam tidak bisa hilang dari benak perempuan itu. Sejenak Denara menghela nafas saat pusing di kepalanya kembali menghantam.
"Papa kenapa tega banget sih, sama Dena!" Ujarnya sendu.
Tangan kanannya meraih tas yang ia bawa, memeriksa barang bawaan yang sepertinya sempat Djati bereskan saat dirinya tertidur.
Dena akhirnya ingat semalam ia memasukkan kaleng bir yang sudah terbuka ke dalam sana, pantas sisi belakang tas itu basah. Ponsel yang sejak semalam aktif kembali ia cek, berharap Miswar dan Arini akan telepon atau sekedar mengirimi pesan mencari dirinya. Huft! Sepertinya hanya harapan kosong yang harus Dena simpan rapat-rapat.
Perempuan itu meletakkan kembali ponselnya di nakas, kemudian membuka dompet yang sama sekali tidak ada uangnya, hanya beberapa kartu serta sebuah foto keluarga kecil yang sudah kusam.
Lama sekali dirinya memandangi gambar itu. Di masa sekarang, faktanya sulit mencari kesempatan hanya untuk foto berempat seperti sepuluh tahun silam.
Sejujurnya, Denara benci menjadi lemah. Namun jika itu perkara rumah, dia tidak punya banyak pilihan. Keluarga selalu menjadi pilihan akhir untuk orang-orang setelah menghadapi kerasnya dunia. Namun di hidup Denara, keluarganya jauh lebih keras dibanding kehidupan dunia.
Sembari menghela nafas kasar, perempuan itu berjalan keluar kamar.
Menatap sisi apartemen Djati yang memang tidak luas dengan perasaan bingung.
"Mas Djati!" Panggilnya pelan.
Tidak ada sahutan, membuat Denara mendekat ke arah kamar yang pernah ia masuki beberapa waktu yang lalu.
Tangannya memegang handle pintu, sedikit takut karna bisa saja Djati marah jika dirinya lancang masuk kamar laki-laki itu tanpa ijin seperti dulu.
"Mas, udah berangkat ya?" Tanyanya tanpa ada jawaban. Dena kembali meneliti kamar yang ternyata memang kosong.
Berbeda dengan yang pernah Dena lihat saat pertama kali masuk ke kamar Djati, hari ini tidak ada pistol atau berkas-berkas yang perempuan itu temui. Barangkali, Djati sudah menyimpannya di tempat aman, mengingat ada dirinya di apartemen laki-laki itu.
Langkahnya semakin masuk, mencermati kamar bernuansa putih bersih itu dengan kagum. Dari tatanannya saja, Dena tahu Djati orangnya perfeksionis.
"Kamu ngapain?!" Dena terperanjat sembari menoleh cepat ke arah pintu.
"Eh, emm... Tadi cari mas Djati, aku kira udah pergi." Jujur perempuan itu sembari berjalan keluar kamar.
Djati sontak menutup rapat pintu kamarnya setelah Dena keluar. "Aku nggak suka ada orang yang masuk kamarku tanpa ijin. Ini sudah kedua kalinya kamu lancang begitu." Tegurnya membuat Dena menatap takut ke arah laki-laki di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
Chick-LitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...