Jati Diri yang Terkuak

44.6K 2.6K 13
                                    

Sudah hampir dua minggu Denara terlihat seperti gelandangan. Hidup pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tak ingin begini terus, Dena berusaha mencari tempat aman untuk menetap. Ia melepas colokan kabel charger dari HPnya.

Kemudian keluar masjid untuk segera pergi dari sana. Namun sial, dua mobil hitam menghimpit posisinya tepat di depan dan belakang.

Denara tentu saja tidak bisa berkutik. Ia hampir lari namun gagal setelah salah seorang pria di mobil tersebut berhasil mencekal tangannya.

"Lepas!!!" Teriaknya dan langsung mendapat bungkaman.

"Masuk!" Perempuan itu tak punya pilihan lain, apalagi beberapa pria di dalam mobil terlihat membawa senjata tajam.

Perjalanan terasa lama, sementara Dena tidak tahu akan dibawa kemana. Matanya tertutup kain dengan tangan yang terikat kuat.

Saat mobil berhenti, ia langsung diseret keluar.

Tubuhnya limbung ke lantai, tepat ketika pria yang sejak tadi menahan Denara kini justru mendorongnya.

"Kerja bagus!" Seru wanita yang suaranya terdengar tidak asing.

Ah, Arini?

Mata Denara memgerjap pelan ketika penutup kepalanya terbuka.

"Kenapa kaget ya?" Ujar wanita yang selama ini Denara panggil 'mama'.

Di samping wanita itu berdiri, ada Raisa yang menunjukkan wajah tak menyenangkan.

"Akhirnya setelah berhari-hari mencari, pagi ini kamu sampai juga di hadapan saya!"

Arini merendahkan posisinya lalu meraih kepala Denara.

"Apa yang sudah kamu lakukan, sampai suami saya ditangkap??"

Denara tak menjawab, ia tetap diam sambil mengalihkan pandangan.

"Jawab brengsek! Apa tujuanmu membagikan data pribadi perusahaan Miswar ke pihak kepolisian?!"

"Dibayar berapa kamu, hah?"

Lagi-lagi, Dena tak mengeluarkan satu kata pun.

"Dengar ya, gara-gara data itu tersebar aset suami saya habis diambil negara!"

"Itulah akibat terlalu mengejar kekayaan sampai merugikan banyak orang!" Timpal Denara dengan suara lantang.

"Jaga ucapanmu! Hari ini saya benar-benar menyesal pernah menerima kamu di rumah besar kami. Seharusnya kami biarkan kamu mati bersama ibumu yang frustasi itu!"

"Anak yang sudah saya rawat dengan baik, dididik, kini justru membuat keluarga saya hancur. Dasar tindak tahu terima kasih!"

Tangan Arini meraih leher Denara dan mencekiknya erat-erat.

"Ma jangan ma, lepas. Kita nggak akan dapat keuntungan apapun kalau dia sampai terbunuh."

"Yang ada malah mama dapat kasus baru!" Cegah Raisa sembari menahan tangan Arini agar tidak bertindak lebih jauh.

Denara sedikit terbatuk saat cengkeraman Arini terlepas. Namun rasa pusingnya semakin menjalar, hingga matanya langsung terpejam dan tidak sadarkan diri.

........

"Sebelum bertransaksi, saya tentu harus tahu seluk beluknya terlebih dahulu dong, benar kan Bu Arini."

"Namanya Denara!" Jawab wanita itu singkat

"Kalau tidak salah usianya 26 tahun, atau hampir 27 saya lupa." Lanjutnya.

"Benar dia datang ke sini atas permintaan suami Anda, pak Miswar?"

"Betul, kami merasa harus melakukan itu supaya tidak ada yang curiga."

"Semua orang tahunya saat itu saya memiliki anak kedua. Tapi sejak awal anak saya cuma satu, Raisa."

"Siapa ibunya sebenarnya."

"Saya tidak kenal, yang jelas dulu dia bekerja di salah satu kantor cabang Sumi saya. Dia butuh banyak uang untuk melunasi hutang, akhirnya menerima tawaran suami untuk melakukan sebuah misi."

"Meracuni hakim yang menangani perkara suami Anda di masa lalu?"

Arini diam, tak berminat memberi jawaban. Toh ini sudah terbongkar, semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa itu.

"Apakah wanita itu masih ada?"

"Tidak, dia mati bunuh diri setelah polisi berhasil menemukan keberadaannya."

"Oh, jadi anak perempuan itu diambil setelah ibunya meninggal?"

"Sebelum ibunya pergi, suami saya sudah lebih dulu mengambilnya. Karena ia sudah terlanjur berjanji akan menjamin kehidupan anak itu jika ibunya mau melakukan hal yang suami saya rencanakan."

"Oh, begitu, saya mulai paham."

"Saya tidak tahu jika permasalahan di masa lalu ternyata masih berkaitan dengan bisnis Miswar hingga sekarang."

"Tentu, karena sejak memenangkan kasus di pengadilan, bisnis Miswar mulai melejit." Ujar laki-laki itu sambil tertawa sumbang.

Wajah Arini pucat pasi, laki-laki di depannya bukan orang sembarangan. Kalau di dunia bisnis yang kotor, mungkin ini adalah petingginya para mafia.

"Saya tidak bisa membantu kasus Miswar, itu terlalu berisiko."

"Mak-maksudnya?" Arini sedikit tergagap.

"Sekali saya muncul, semua orang di kalangan tersebut akan ikut terseret. Posisi saya juga akan terancam."

"Lalu?"

"Hukuman untuk Miswar memang belum ditetapkan. Tapi saya rasa mungkin akan jatuh 15 atau 20 tahun."

"Tapi semua aset saya sudah disita sama negara!" Teriak Arini seolah tidak ikhlas mengingat kekayaannya tinggal kenangan.

"Katakan pada suamimu, apapun yang pengadilan tetapkan terima saja."

"Aset yang sudah disita juga biarkan saja."

"Hidup kalian saya jamin! Nominal yang disita akan saya ganti, asal dia tidak membuka nama lain dari kasus ini."

"Memangnya bisa begitu?"

"Pengadilan hanya akan pusing mencari akar dari permasalahan korupsi dan penggelapan uang negara. Toh tidak akan ada habisnya sampai kapan pun."

"Tapi,"

"Semua pasti baik-baik saja asal Anda menurut."

"Ya sudah, sekarang berikan uangnya, dan bawa anak itu pergi dari sana."

"Saya bersama Raisa akan pindah ke Singapura. Di sini bukan tempat aman lagi untuk kami."

Laki-laki itu tersenyum penuh arti dan segera mengeluarkan amplop besar dari kopernya.

Sementara Denara tahu, perbincangan samar-samar yang ia dengar dari kamar, akan menjadi babak baru nerakanya.

Tubuhnya sedikit tersentak saat seseorang menariknya. Mata Denara tidak bisa mengenali siapapun. Lagi-lagi kepalanya tertutup kain tebal.

Dari gerakan para-pria yang kini memasukkannya ke dalam mobil, Dena tahu ia tak akan kembali pada dirinya yang sekarang.

Entah apa yang akan segera menghampirinya. Kematian atau bisa jadi penyiksaan seumur hidup.





TakeawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang