"Kamu?!" Seru Djati sedikit tidak percaya, perempuan yang baru satu jam lalu ia antar pulang, kini sudah berdiri di depan pintu apartemennya.
Laki-laki itu mengamati penampilan Denara yang acak-acakan, rambutnya tidak terikat dengan baik, wajahnya murung, pun dengan kelopak mata yang tampak bengkak. Atau barangkali, perempuan ini baru saja menangis. Pikir Djati.
Yang lebih membuat mata laki-laki itu melotot adalah, sepuntung rokok di antara jari telunjuk dan jari tengah Denara. Ada bau alkohol yang tidak begitu menyengat, namun Djati bukan laki-laki polos yang tidak tahu apa yang tengah terjadi pada perempuan di depannya.
"Masuk." Putus laki-laki itu sambil membuka pintu lebih lebar. Denara masuk begitu saja dengan langkah sedikit terseret.
Tanpa perlu dipersilahkan, Denara langsung duduk di sofa, menjatuhkan tasnya di lantai hingga sekaleng bir keluar dari tas itu, dengan sisa air yang kini membasahi lantai apartemen.
Djati tentu menahan geram. Melihat salah satu merek bir yang keluar dari tas Dena, ia yakin jenis itu tidak akan membuat perempuan di depannya sampai teler seperti sekarang. Atau jangan-jangan sebelum ke sini, dia sudah minum banyak di luar tadi.
Sembari mengelap lantainya dengan kain, Djati mengulurkan sebuah asbak ke arah Denara. Dalam kondisi setengah mabuk, Denara masih cukup waras untuk mengetahui maksud tatapan tajam Djati ke arah rokok yang kini terselip di jarinya.
Meski sedikit terpaksa, mau tidak mau perempuan itu meletakkan rokok yang sudah ia hisap setengah ke arah asbak yang Djati berikan, tak lupa menekan ujungnya agar apinya padam.
"Kekanakan!" Cibir Djati, Dena masih diam di tempat duduknya dengan tatapan kosong.
Dari yang Djati lihat, perempuan di depannya memang tidak asing dengan rokok serta alkohol. Kontrol diri yang Dena perlihatkan masih cukup baik, meski Djati tahu perempuan itu sudah setengah teler.
"Ke sini naik apa?" Tanya laki-laki yang masih sibuk membereskan kekacauan.
"Taksi." Jawab Dena singkat.
"Nggak punya teman lain?" Ah, Dena tahu apa maksud laki-laki di depannya. Pasti Djati terkejut dengan kedatangannya dalam keadaan seperti sekarang. Seolah-olah tidak ada pertolongan dari orang dekat, hingga harus datang ke apartemen laki-laki itu.
Yah, bermenit-menit dalam perjalanan Denara mempertimbangkan langkahnya menuju apartemen Djati. Pergi ke rumah teman-temannya tentu bukan pilihan yang baik, mengingat sahabat Denara adalah orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung perihal ekonomi, Dena tentu takut merepotkan dan membebani mereka.
Apalagi, keputusannya menenggak alkohol hingga teler seperti sekarang nyatanya tidak menyelesaikan apapun! Dena justru merutuki kebodohannya.
Dena pikir, pergi ke tempat Djati adalah pilihan paling tepat. Setidaknya, meski laki-laki itu akan marah, dia yakin Djati pasti menerimanya. Dan benar, sofa ruang tamu milik Djati bisa menjadi tempatnya istirahat meski sejenak, yah.. Sebelum laki-laki itu mengusirnya nanti.
Denara menoleh ketika Djati dengan baik memberinya segelas air hangat.
"Minum," Seru laki-laki itu sembari meneliti tubuh Denara yang bergetar sejak tadi.
Djati duduk tepat di depannya, di tatap lekat seperti sekarang, membuat perempuan itu tidak mampu menahan kesedihan. Air mata yang sejak tadi mendobrak-dobrak kelopak matanya kini keluar juga.
"Aku di usir dari rumah." Lirih Denara membuat Djati berkedip pelan.
Seingatnya, Denara adalah perempuan bebal yang tidak mungkin menangis seperti ini hanya karna diusir. Pasti ada sesuatu yang lebih menyakitkan.
Laki-laki itu tidak ada niatan untuk mengorek lebih dalam, dia tahu dalam keadaan seperti sekarang, ceritanya akan mengalir sendiri nanti.
"Ke mana aja jam segini baru pulang?" Dena melirik sekilas pada Miswar yang baru saja membanting korannya saat dirinya masuk tadi.
"Dari rumah teman." Jawab perempuan itu sedikit acuh.
"Apa nggak tahu papa telfon kamu sejak siang tadi, mengirim belasan pesan agar kamu segera pulang." Bentaknya.
"Ponsel Dena mati pa, jadi nggak tahu kalo papa minta Dena pulang." Lanjut perempuan itu, seraya menatap Miswar dengan malas.
"Gara-gara kamu nggak pulang, anak teman papa pulang dengan kecewa."
"Maksud papa?" Tanya Dena sedikit mengernyitkan keningnya.
"Seharusnya kalian berkenalan siang tadi seperti Raisa dan Rasya." Mendengar jawaban Miswar, Denara sontak tertawa miris.
"Oh, masih ada kaitannya sama bisnis?" Cibir perempuan itu membuat Miswar semakin geram.
"Ini kerja sama Denara. Kesempatan yang bagus untuk perusahaan kita."
"Apa bedanya dengan menjual anak sendiri untuk kepentingan bisnis!" Seru Denara semakin berani.
Plak!
Sebuah tamparan yang belun pernah Denara rasakan seumur hidup, kini dilayangkan Miswar tepat di pipi kanan sang anak.
"Jaga mulut kamu." Tambah pria itu.
Denara sontak menatap nyalang pada wajah sang papa, sembari menahan kebas di pipinya serta hatinya yang hancur mendapat perlakuan Miswar.
"Apasih yang nggak kita punya pa?" Tanya perempuan itu dengan suara bergetar.
"Uang dan kekayaan papa sudah sangat melimpah. Tapi lihat, keluarga kita minim kebahagiaan karna selalu merasa tidak puas." Tegas perempuan itu.
"Papa selalu ingin mendapatkan lebih, padahal kita belum tentu membutuhkannya."
"Diam!" Sentak Miswar.
"Kalo kamu nggak mau menuruti ucapan papa, silahkan keluar dari rumah ini!"
"Papa nggak tahu kenapa dulu bisa punya anak kaya kamu!"
"Papa menyesal?!"
"Iya! Sangat menyesal karna punya anak yang tidak bisa memberi keuntungan." Ucapan itu seperti petir yang menyambar. Jauh lebih sakit rasanya ketimbang tamparan Miswar.
"Jangan pernah kembali jika kamu masih tetap membangkang!"
"Anak bukan investasi masa depan, kan mas?" Tutur perempuan itu pedih, setelah menyelesaikan ceritanya.
Djati terdiam. Mendengar cerita dari perempuan di depannya, ada tumpukan beban yang ikut laki-laki itu rasakan.
Benar saja, kesedihan yang Dena tunjukkan bukan serta merta karna diusir dari rumah. Namun perlakuan Miswar yang pasti menjadi alasan kuat kenapa perempuan itu bisa seperti ini sekarang.
"Tadi mas Djati tanya, aku punya teman lain apa enggak? Aku punya banyak teman kok, aku juga yakin mereka pasti mau bantu dalam keadaan apapun." Perempuan itu diam sejenak, sambil menghela nafas pelan.
"Tapi aku nggak mau ngerepotin mereka, hidup mereka itu jauh kurang beruntung daripada aku. Jujur, selama ini mereka pikir hidupku paling sempurna, aku selalu membantu apapun yang mereka butuhkan, terlebih soal keuangan."
"Rasanya nggak enak kalau harus ngrepotin mereka balik. Kalo bisa, mereka nggak perlu tahu masalahku." Pungkas Denara.
Djati tebak, Denara adalah tipe orang yang di gengnya tertawa paling keras, melucu demi membuat teman-temannya tertawa, namun masalah hidupnya justru paling banyak.
"Terus, kenapa ngrepotin aku?" Cibir Djati membuat Denara sedikit tergagap.
"Mas Djati kan kaya! Kalo cuma ditumpangi buat keluarin uneg-uneg sepertinya nggak masalah." Seru Denara sembari tertawa ringan. Meski Djati tidak bisa dibohongi, ada kepedihan mendalam yang perempuan itu sembunyikan di balik tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...