"Tadi aku rebut mie ayamya. Terus dia marah!" Tutur Marwa dengan celotehan ringan, sesekali tertawa meski sebenarnya tidak ada kelucuan di sana.
Dengan bahasa yang ia bisa, Marwa tampak berusaha menceritakan apa yang tadi gadis itu alami.
"Besok lagi, kalo mau mie ayam minta bik Inah bikinin. Jangan rebut punya orang, nggak baik." Ucap Djati lembut pada sang adik yang kini mengangguk riang.
Mulutnya terus menerima suapan Djati dengan sendok yang terisi penuh nasi.
"Jangan ilang-ilangan lagi ya, kasihan ibu bingung nyariin." Lanjut laki-laki itu, rautnya tampak sedih, sembari terus mengusap rambut Marwa.
Denara menahan nafas, menatap pemandangan sendu di hadapannya. Sajian makanan lezat di atas meja tidak serta merta menggugah seleranya, mendapati ketulusan Djati pada sang adik, membuat perempuan itu merasa iri. Di dalam keluarganya, tidak pernah ada hari-hari seperti ini.
Perempuan itu menoleh pada bu Lusi yang kini hanya mampu mengaduk-aduk nasi di piringnya. Tatapannya tidak lepas pada sang putri yang masih terus berceloteh ringan dengan cerita yang dia karang sendiri.
Ingin sekali Denara menarik paksa keluarganya yang selalu merasa sempurna itu untuk berkaca pada keluarga baik ini.
"Nambah lagi, Denara." Sela bu Lusi yang tempak menyadari keterdiaman Denara.
Denara hanya tersenyum sekilas sembari mengangguk. Jujur, suasana meja makan semakin canggung.
"Sudah lama berteman dengan Djati?" Denara tergagap, ia tahu Lusi sedang mencairkan suasana.
"Lumayan Bu, tapi kita tidak terlalu dekat." Celetuk Djati sebelum Denara mengucapkan satu kata pun.
Perempuan itu menatap Djati dengan teliti, namun laki-laki di hadapannya itu segera memalingkan wajah.
"Oh, sering-sering main ke sini, biar ibu sama Marwa ada temannya." Celetuk bu Lusi diiringi tawa ringan.
"Iya, Bu. Besok kalo ada waktu Denara pasti main ke sini lagi."
"Kakak baik!" Seru Marwa sambil mengacungkan dua jempolnya ke arah Denara.
"Marwa juga." Puji Dena sambil tertawa.
"Nanti pulangnya biar diantar Djati, ya."
"Nggak perlu, Bu. Denara bisa pesan taksi kok." Tolak Dena, jujur dia tidak ingin membuat Djati merasa repot. Mengingat setiap pertemuan mereka hanya menimbulkan masalah baru.
"Nggak pa--pa! Djati mau kok, iya kan Djati?"
"Iya," Ujar laki-laki itu singkat tanpa menoleh.
"Tapi, bu."
"Anggap ucapan terima kasih ibu. Lagian ibu nggak bisa balas kebaikan kamu pakai cara lain." Seperti tidak bisa ditolak lagi, Dena akhirnya menurut.
............
"Makasih," Ucap Djati singkat saat dia dan Denara tengah berada di perjalanan menuju rumah Miswar.
Ucapan itu mampu memecah keheningan yang tercipta hampir lima belas menit berlalu, tentu sejak keduanya beranjak dari rumah Lusi.
"Ibu udah banyak bilang makasih ke Dena, mas Djati nggak perlu repot-repot." Ujar Denara sesaat setelah berdecak pelan.
Djati tampak acuh, "Berapa uang yang kamu pakai untuk bayar taksi tadi? Biar aku ganti." Imbuhnya.
"Sekalian uang untuk bayar mie ayam yang Marwa rebut dari pemiliknya." Lanjut laki-laki itu.
Denara menatap sinis pada manusia di sampingnya, "Nggak perlu diganti, aku ikhlas kok bantu Marwa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...