Prolog

24 11 2
                                    

Jakarta, 02 Agustus 2017

"Dare!" seru seorang gadis yang memakai kaos berwarna putih dan celana berwarna maroon.

Gadis yang memakai baju tidur tersenyum licik lalu kepalanya menoleh kearah kiri. "Dare buat lo, lo harus dapet nomor cowok itu!" katanya sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang mencuci motor di rumah sebelah.

Gadis berkaos putih itu tersenyum, "Yaelah, itu doang?"

"Coba aja sama lo,"

Gadis berkaos putih itu langsung beranjak dari duduknya dan berjalan kearah tembok yang menjadi pembatas rumahnya dan rumah anak laki-laki tersebut. Karena tembok itu hanya setinggi satu meter, jadi memudahkan dia untuk melihat anak laki-laki itu.

"Hey, gue boleh minta nomor lo?"

Laki-laki itu hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Merasa tidak dihiraukan, dia pun bertanya lagi.
"Hello, gue ngomong sama lo, gue boleh minta nomor lo?"

Menghentikan aktivitasnya, dia pun menjawab, "Udah jadi pengusaha apa lo sampe berani minta nomor gue?"

Gadis itu melotot, "Heh! lo aja masih keliatan muka pengangguran dan masih jadi beban keluarga, sombong banget!"

Gadis itu berbalik meninggalkan tempatnya tadi berdiri, dengan perasaan dongkol, ia menatap gadis yang sedang menertawainya dengan kesal, apalagi mendengar jawaban dari laki-laki tersebut. Sedangkan laki-laki itu tertawa kecil melihat gadis itu dengan wajah merah padam karena kesal. Siapa suruh menjadikannya bahan taruhan dari permainan Truth or Dare, memangnya dia cowok apaan?

"Gimana?"

"Rese, lo! itu cowok sok ganteng banget sumpah! berapa sih umurnya? udah kerja apa emang dia? bisa-bisanya nyuruh gue jadi pengusaha dulu baru bisa dapet nomor dia, ogah amat! dikira kalo gue udah jadi pengusaha bakalan tetep mau minta nomor dia? idih." Gadis itu terus mengomel, maklum kesabarannya memang setipis tisu dibagi 10.

Seorang gadis berambut pendek keluar sambil membawa beberapa cemilan. "Marah-marah mulu, nih makan," ujarnya sambil menyodorkan beberapa cemilan.

"Gue abis ngasih tantangan ke Zalina buat minta nomor cowok yang disebelah," ujar gadis berbaju tidur, Esther.

"Ga normal itu cowok, Bel." ujar Zalina-gadis berkaos putih- sambil melirik kearah rumah cowok itu, lalu pandangannya kembali menatap kearah cemilan yang sedang ia makan.

Jisabel-gadis berambut pendek- tertawa. "Namanya Sangga, Sanggala Arsenio. Dia pacarnya temen sekelas gue dan ya dia seumuran sama kita, dia emang bucin mampus sama ceweknya, jadi mau secantik apapun lo ngedatengin dia, dia ga akan tergoda, setia abis orangnya. Jadi, jawaban yang lo dapet dari dia itu adalah penolakan dia secara halus."

"Gue juga ogah minta nomor dia lagi," ujar Zalina sambil mengedikan bahu.

Esther tertawa lalu berkata. "Lo baru pindah ke SMP Bangsa, wajar kalo gak tau soal Sangga. Dia emang keliatannya doang kayak cowok cool, aslinya lo bisa tanya Jisabel."

"No komen deh gue, nanti setelah lo sekolah, lo bakal tau sendiri."

"Gak mau banget gue berteman sama dia."

Esther menaik turunkan alisnya untuk menggoda Zalina, "Gak mau berteman sama dia, tapi maunya pacaran?"

"Gila, ya, lo?"

Esther dan Jisabel tertawa terbahak melihat wajah Zalina.

Zalina termasuk orang yang mempunyai gengsi paling tinggi di Indonesia Raya ini, penolakan Sangga secara halus tadi tentu saja membuat dia merasa harga dirinya jatuh, lagipula dia tidak mau berurusan lagi dengan Sangga, cukup tantangan dari Esther, tidak ada selanjutnya.

Tertanda,
BLZLUNA

Bogor, Jawa Barat.

Kisah Tanpa UjungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang