Suara ricuh terdengar dari kelas 12 IPS 1, Guru yang mendapat jadwal hari ini dikelas itu tidak bisa hadir sehingga hanya diberikan tugas dari buku paket. Jauhnya kelas dari jangkauan Guru, membuat mereka keasikan bermain dengan aktifitasnya sendiri.
Sebagian ada yang tidur sambil ditutup oleh jaket, ada yang mencoret-coret papan tulis, ada yang sibuk berjoget, ada yang hanya sibuk bermain ponsel, dan anak rajin kelas itu tentunya hanya fokus dengan buku.
Tidak mau ketinggalan, teman-teman Sangga juga ikut memanfaatkan free class ini. Riga menggelengkan kepalanya sambil mengikuti irama musik yang ada diponselnya, Daris menjadi gitaris dengan menggunakan sapu, Sangga menjadi vokalis, sedangkan Maxime menggunakan meja sebagai gendang.
30 menit berlalu, bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran, semua murid dikelas IPS 1 langsung berhamburan membereskan bangku dan meja yang tadi berantakan karena ulah mereka.
"Cepetan jing!"
"Woy itu papan tulis gambar haramnya hapus cok!"
"HEADSET GUE MANA? HEADSET GUE MANA WOYY!!!?"
"Baju lo masukin jirr!"
Begitulah kehebohan yang terjadi didalam kelas IPS 1. Riga yang sedari tadi mengintip keluar kelas langsung berlari ke mejanya.
"Anjing matematika sekarang!"
Sangga yang duduk disebelahnya menoleh kearah Riga. "Emang ngape? matematika doang tinggal nyontek, iya gak Mas Max?" ujar Sangga sambil menaik turunkan alisnya kearah Maxime.
Memang jika pelajaran hitung-hitungan, Maxime lah juaranya. Daris segera menyimpan sapu disudut ruangan dan duduk ditempatnya. Bersamaan dengan Daris duduk, Bu Jena-guru mtk- masuk ke kelas.
Kacamata kotak besar, lipstick berwarna merah adalah ciri khas Bu Jena.
"Sang, lo PR udah?" bisik Riga, Sangga menoleh dengan wajah bingung.
"Emang ada?"
Riga meneguk ludahnya, bukan apa, Bu Jena terkenal sebagai Guru killer yang tidak segan memberi hukuman berat jika ada murid yang tidak mengerjakan PR di mata pelajaran yang ia ajar.
"Mampus!"
Daris sedang sibuk menyalin PR dari buku Maxime, sedangkan Riga dan Sangga sedang menunggu giliran. Mereka hanya bisa berdo'a didalam hati semoga Bu Jena tidak ingat.
"Selamat siang, buka buku paket, kita lanjutkan materi kemarin tentang Geometri Bidang Ruang." ujar Bu Jena sambil membenarkan posisi kacamatanya.
Sangga menghela nafas lega, sepertinya Bu Jena tidak ingat tentang PR minggu lalu.
"Bu, ada pelatihan soal kemarin yang dibawa pulang masih tentang Geometri Bidang Ruang." ujar salah seorang siswa.
Matilah.
-Kisah Tanpa Ujung-
Sudah hampir 30 menit Sangga, Riga, Daris, dan 2 anak lainnya berjemur didepan tiang bendera karena tidak mengerjakan PR. Sangga mengutuk Renal sang ketua kelas yang tadi mengingatkan Bu Jena tentang PR. Maxime tidak ikut berjemur karena Bu Jena tahu bahwa laki-laki itu pintar dan hanya menegur untuk tidak kebiasaan memberikan temannya contekan.
"Kaki gue buset bentar lagi jadi agar-agar." keluh Riga sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
"Renal sialan, mau bikin image pemimpin melekat di dia tapi gue yang tersiksa anjing! Mana terik banget hari ini, kampret." Daris mengomel sendiri.
Sangga hanya sibuk mengusap bulir keringat yang sedari tadi membasahi pelipisnya. Ingin mengomel pun hanya membuang tenaga. Sangga hanya berharap semoga dia kejatuhan air minum dingin, demi apapun Sangga sekarang rasanya ingin menguras air kolam renang belakang sekolah untuk menghilangkan dahaganya.
"Padahal udah sering disuruh hormat bendera, tapi kenapa kalo disuruh Bu Jena beda anjir! Hati gue gak ridho apa ya, jadi terbebani. Ya Allah need payung teduh bukan punya tulus."
"Alay lo jamet!" ucap Ala-salah satu yang dihukum-
Riga menatap sinis Ala tapi dia kembali memasang wajah melasnya. "30 menit lagi kita beneran jadi ikan asin."
Sangga menjitak kepala Riga. "Mana ada ikan asin setampan gue!"
Daris memicingkan matanya, melihat seseorang yang sedang berjalan di koridor kelas. Dia menyenggol lengan Sangga. "Zalina woy, minta tolong Zalina." bisiknya.
Sangga menoleh kearah yang Daris tunjuk. Melihat Zalina lewat ditengah kesengsaraannya membuat Sangga merasa mendapat harta karun.
"Zalina!" teriak Sangga, yang dipanggil menghentikan langkahnya sambil memicingkan mata, memastikan siapa yang memanggil dia.
"Lo ke kelas duluan aja, Zar. Nanti gue nyusul, tolong bilangin ke Bu Fiza gue ke toilet bentar, boleh ngerepotin lo gak?" Fiza mengangguk dan mengambil alih buku yang ada ditangan Zalina.
"Gue duluan, Zal."
Setelah sendirian, Zalina berjalan menghampiri Sangga ditengah lapangan, hari ini panasnya matahari seperti langsung tembus kedalam tulang. Sangat panas. Maklum sedang masuk musim kemarau.
"Item banget lo!" ejek Zalina saat melihat Sangga dibawah matahari dengan pelipis yang sudah bercucuran keringat.
"Tolongin aku dong sayanggg," ucapan Sangga membuat Zalina bergidik, geli sekali.
"Amit-amit Sangga!" Yang ada dilapangan hanya tertawa melihat respon Zalina. "Mau ngapain lo manggil gue? cepetan napa, panas ini, gue mau balik ke kelas."
Sangga memberikan cengiran khasnya. "Zal, lo tau gak hari ini suhu nya berapa derajat?"
Zalina merogoh sakunya dan melihat dari ponsel. "36°"
"Nah, gila, panas banget anjir!"
"Terus kenapa? bertingkah apalagi lo sampe dihukum begini?" Zalina menatap Sangga sambil menggelengkan kepalanya, tidak habis fikri.
"Gue lupa ngerjain PR matematika, Zal. Nih gara-gara dua manusia umbi-umbian ini gue gak dikasih tau!" ujar Sangga sambil menunjuk kearah Daris dan Riga.
"Heh kutil anoa! gue gak sempet nyontek Maxime karena kemarin lo php ya anjir!" cerocos Riga tidak terima.
"Dasar lo manusia pikun!" hardik Daris.
"Tuh, kan. Lihat ih aku dikatain sama mereka." Sangga mengadu ke Zalina, Zalina yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Terus mau ngapain, Sanggaaaa." ujar Zalina gemas. Gemas ingin menonjok Sangga maksudnya.
"Cuaca hari ini panas banget, gue berdiri disini udah hampir sejam. Lo bayangin gue bisa dehidrasi berdiri disini selama itu, kulit gue bisa kering, bibir gue apalagi. Nanti kalo gue pingsan gimana? kalo gue sakit gimana? kalo gu-"
Belum selesai mengoceh, Zalina sudah membekap mulut Sangga dengan tangan kanannya.
"Intinya lo minta gue beliin lo minum kan?" ujar Zalina sambil memutar bola matanya malas.
"Hehehe, sayangku, tuan putriku, kamu peka sekali." ujar Sangga sambil mencubit kedua pipi Zalina.
"Sakit bego!" setelah menepis tangan Sangga, gadis itu langsung pergi meninggalkan Sangga.
Sangga pun tersenyum senang dan memeletkan lidah kearah teman-temannya. "Iri kan lo gak punya bocil kayak Zalina?"
"Alah, cuma teman doang juga bangga lo!" ejek Riga.
Sangga menoyor kepala Riga. "Iri mulu lo jamet!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tanpa Ujung
Teen Fiction(Follow, vote & komen jangan lupa ya) Aku pernah membaca sebuah buku, yang mengatakan "jika hidup janganlah bergantung pada rasa gengsi, karena gengsi bisa menghancurkan dirimu sendiri". Aku pikir, tulisan itu hanyalah sekedar tulisan. Tetapi aku me...