13 - Interview

3 0 0
                                    

"Gue kayaknya mau part time deh, bosan banget dirumah." Zalina memecah keheningan.

Esther yang sedang memainkan ponselnya langsung menatap Zalina. "Yakin lo?"

"Iya!" Zalina mengangguk cepat. "Cariin info dong, Ther. Koneksi lo kan banyak."

"Aman." jawabnya sambil mengacungkan jempol.

"Gue juga sama sih bosan."

"Ya udah gimana kalo kita nyari kerjaan bareng?"

Meira tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Papa gue gak akan izinin, dia mau gue fokus pendidikan dulu."

"Emang dasar anak Papa lo." kata Ivy.

"Lo sendiri gimana, Vy?" Zalina mengalihkan pandangannya ke Ivy.

"Gue, ya? gue mau males-malesan aja kayaknya hehe. Nanti tunggu lulus baru mikirin soal kerjaan." balasnya sambil nyengir kuda.

Zalina hanya mengganggukan kepala. Teman-temannya terbiasa hidup enak karena sedari dulu semuanya selalu dimanja. Memang perintis dan pewaris sangat berbeda.

Sebenarnya keluarga Zalina juga tidak kekurangan apapun, hanya saja Zalina merasa tidak ingin selalu merepotkan Opa dan Oma nya yang sudah semakin tua. Bagaimana pun dia harus memikirkan cara untuk bertahan hidup tanpa bergantung pada orang lain.

Walaupun rumah yang dia tempati sekarang adalah milik Opa nya, tidak perlu pusing membayar rumah, setidaknya untuk kebutuhan sehari-hari masih harus mengandalkan Zalina sendiri.

Esther menepuk-nepuk bahu Zalina dengan heboh, membuat sang pemilik bahu itu mengaduh. "Apa woy." kata Zalina sambil menjauhkan tubuhnya dari Esther.

Ivy dan Meira ikut memandang Esther yang masih anteng menatap ponselnya. "Ini, gue udah nemu yang lo cari.'

Dengan cepat Zalina bergeser dan ikut menatap ponsel Esther. "Gilaaa! persyaratannya gak nyusahin orang. Sumpah sih ini Cafe keren banget!"

"Apa emang?" Esther memberikan ponselnya dan diambil oleh Meira.

"Anjir! pengen ikutan gue." kata Ivy.

Meira mengangguk setuju. "Persyaratannya cuma fotocopy nilai raport terakhir, ktp kalo punya sama CV tulisan tangan. Gajinya perhari 185.000 kerjanya cuma sabtu-minggu dan itupun cuma enam jam sehari? woy gue mau ikut."

"Coba lihat tanggal terakhir pendaftarannya." kata Zalina.

"Besok terakhir, ini loker udah dibuka dari lima hari yang lalu."

Besok adalah hari sabtu, Zalina tidak boleh kehilangan pekerjaan sebagus ini.

"Lo tau Cafe ini, Ther?" tanya Zalina.

"Tau, ada di jalan mawar."

"Dari rumah lo ke jalan mawar lumayan, Zal. Tiga puluh menit paling cepat." kata Ivy.

"Tenang! demi pekerjaan ini, dua jam perjalanan juga gue tempuh." sahut Zalina.

"Yakin lo?" tanya Esther.

"Enggak lah, yakali bisa encok gue." jawab Zalina sambil tertawa.

"Anjir."

"Pokoknya semangat!! nanti lo ceritain enak gak kerja. Kalo enak, ya udah lanjutin." kata Meira sambil nyengir.

"Anjir, gue kira lo mau ikutan."

"Waduh sulit menghadapi Paduka Raja." jawab Meira memberikan kedua jempolnya dengan senyum tertekannya.

"Gak apa-apa. Wajar Papa lo posesif, lo kan anak satu-satunya." kata Zalina.

"Inget, besok jam delapan harus udah disana, lo berangkatnya jangan ngaret." kata Ivy mengingatkan.

"Siapp, pasti dongg!" sahut Zalina dengan mata berbinarnya.

-Kisah Tanpa Ujung-

"Cafspian." pandangan Zalina bolak-balik memastikan nama Cafe yang ada dihadapannya dengan yang ada di ponsel itu  adalah tempat yang sama.

"Bener kok ini. Anjir deg-degan nya udah kayak mau ketemu Juyeon."

Zalina mengatur nafasnya sendiri lalu mulai melangkahkan kakinya untuk masuk. Pandangannya mengedar kesekeliling Cafe, masih sepi.

Gadis itu menghampiri seorang wanita yang sedang membereskan meja.

"Permisi." kata Zalina sopan.

Wanita itu menghentikan aktifitasnya lalu menoleh kearah Zalina. Bisa Zalina lihat bahwa wanita itu memang lebih tua darinya, mungkin umurnya sudah memasuki 25 tahun. Tapi wajahnya tetap cantik dan terlihat segar.

"Part time, ya?" tanya wanita itu.

"Iya, bu." jawab Zalina.

"Sini masuk."

Wanita itu berjalan mendahului Zalina, memasuki sebuah ruangan yang pintunya terletak di sebelah dapur.

"Mana berkasnya?"

Zalina segera memberikan map yang berisi berkas persyaratan kerja. Walaupun wajahnya terlihat tenang, tetapi aslinya dia sangat gelisah karena ini adalah interview pertamanya.

"Ah, masih anak sekolah ya?" kata wanita itu sambil membaca CV milik Zalina.

"Iya, bu. Kebetulan sudah selesai semua ujian, jadi hanya perlu menunggu waktu kelulusan."

"Baik, perkenalkan nama saya Liza, saya owner dari Cafe ini." Zalina mengangguk mengerti. "Dari penjelasan kamu, kamu tidak ada aktifitas selama menunggu kelulusan, itu sebabnya kamu melamar pekerjaan?" lanjutnya.

"Benar, agar mempunyai pengalaman bekerja." jawab Zalina.

"Langsung ke intinya saja ya. Kami memang sedang membutuhkan orang untuk kerja part time di bagian waitress, tetapi gaji yang bisa kami berikan kecil, dan kerja nya hanya di sabtu minggu dari jam tiga sampai jam sembilan malam. " tutur wanita itu.

"Apakah keberatan?" tanyanya.

"Tidak. Saya merasa cukup puas." jawab Zalina.

"Baik, terima kasih, Zalina. Saya akan mempertimbangkan berkas kamu dengan semua calon pekerja yang sudah melakukan interview."

"Terima kasih, bu. Saya tunggu kabar baiknya." kata Zalina sambil tersenyum, dan berjabat tangan dengan Liza.

Liza hanya tersenyum, Zalina segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Dia sangat tegang.

"Padahal gak akan digigit, kenapa gue bisa setegang itu." kata Zalina yang sudah berada diluar Cafe.

Untungnya Cafe ini berada dipinggir jalan, jadi dia tidak sulit untuk menemukan kendaraaan umum.

Didalam angkutan umum, Zalina mendapat telepon dari Esther, gadis itu segera mengangkat teleponnya.

"Halo."

'Halo, Zal. Gimana? lancar gak?'

"Lancar dong! tapi demi apapun gue hampir pingsan, deg-degan banget."

'Hahaha, biasa itu. Semua pelamar juga kayak lo kayaknya kalo pertama kali interview'

"Gue pesimis, Ther. Jawaban interview gue tadi kayak gak memuaskan."

'Yaelahhh, jangan mikir kejauhan lah'

"Bener anjir, gue jawab kayak seadanya jawaban yang muncul di kepala gue."

'Ngakak, gak apa-apa kalo gak keterima. Nanti gue cariin loker part time yang lain'

"Iya juga sih."

'Lo lagi dimana? berisik amat'

"Mau pulang, lagi didalam angkot gue."

'Oalahh, gak minta jemput Sangga?'

"Palingan masih tidur, kasihan."

'Bener sih, yaudah gue mau keluar dulu. Takecare baby, muachh'

Penutupan telepon diakhiri dengan kecupan dari Esther, Zalina sontak menjauhkan ponselnya dari telinga, memang teman satunya itu kadang suka menggelikan.

"Harus sering di rukyah emang si Esther ini."

Kisah Tanpa UjungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang