Setelah botolnya diberikan lagi ke Zalina, gadis itu langsung mengeluarkan tisu dan membasahinya dengan air mineral yang tadi.
"Lo ngapain?" ujar laki-laki itu sambil menahan tangan Zalina yang hampir menyentuh wajahnya.
"Ngebantuin lo lah, lihat muka lo beneran bikin takut." jawab Zalina.
Tidak menjawab, laki-laki itu membiarkan Zalina membersihkan wajahnya. Dengan telaten Zalina membersihkan wajahnya yang ada noda darah.
"Darahnya udah ilang, tapi sorry bekas lebam lo mungkin harus lo kompres sendiri pakai es batu nanti dirumah."
Dia hanya mengangguk. "Thanks."
"Lo kenapa bisa kayak gini?" Laki-laki itu hanya diam tidak menjawab. "Okey, gue paham. Hal biasa kalo ketua Galpotra kayak lo gini bonyok, udah jadi makanan sehari-hari kan?"
Javasco Horace, siapa yang tidak mengenal laki-laki tampan ini? hidung mancung, kulit putih, bibir yang menawan, dan tubuh yang atletis, benar-benar membuat wanita manapun yang melihatnya akan tergila-gila.
Kehidupan pribadi Javas jarang terekspos karena dia benar-benar tertutup soal keluarganya. Yang semua orang tahu, Javas adalah anak pertama dari 2 bersaudara dan Papanya adalah investor di sebuah perusahaan ternama. Selain terkenal karena ketampanannya, Javas adalah ketua Galpotra.
Javas tidak menjawab Zalina, laki-laki itu hanya melihat air hujan yang mulai turun dengan jumlah lebih banyak dari sebelumnya.
"Eh." Zalina menggeser tubuhnya karena mulai terciprat air.
"Sini." Gadis itu membantu memapah Javas untuk menggeser agar tidak basah kuyup.
"Lo bawa hp?" tanya Zalina.
Javas merogoh saku jaket hitamnya lalu mengeluarkan benda pipih berwarna hitam, dengan cepat Zalina mencari aplikasi yang ingin ia gunakan.
"Bahkan lo gak punya satupun aplikasi ojol?"
"Buat apa gue pakai ojol?"
Iya juga, Javas kan ketua geng motor, paling anti dibonceng dengan orang lain pastinya.
"Nih." kata Zalina sambil memberikan kembali ponsel Javas.
Javas melihat ponselnya, ternyata Zalina sudah memesan ojek online yang 5 menit lagi akan sampai.
"Ngapain lo kerumah sakit?"
"Nganter lo lah,"
"Gak perlu."
"Memang gue butuh persetujuan lo?" tanya Zalina dengan wajah songongnya.
Javas membuang wajahnya kearah lain, dia memang tahu Zalina di sekolah karena saat kelas 10 dulu pernah satu kelas, tetapi tidak pernah bertegur sapa apalagi mengobrol seperti sekarang.
Mobil pun sudah datang, setelah Zalina berbicara kepada supirnya akhirnya supirnya turun untuk membantu Javas menaiki mobil.
"Motor lo udah di kunci kan?"
"Iya."
"Okey." Setelah itu Zalina menyusul Javas masuk ke mobil dan duduk disebelahnya.
-Kisah Tanpa Ujung-
"Gue gak suka berhutang dengan orang lain."
"Lo bisa bayar hutang lo nanti."
Zalina masih duduk dikursi rumah sakit sambil men-charger ponselnya dengan chargeran yang ia pinjam dari perawat disana. Wajah Javas sudah diobati dan sekarang laki-laki itu sudah bersiap untuk turun.
"Ngapain lo?" Zalina mengalihkan pandangannya kearah Javas.
"Cabut."
"Tunggu lah!"
"Gue udah sembuh." kata Javas.
"Bukan, baterai hp gue baru lima puluh persen."
Sialan. Ternyata karena ponselnya belum penuh jadi menunda pulang dari tadi.
"Cabut. Malu-maluin aja lo."
Zalina mendelik sebal, dia pun segera melihat jam. Ternyata sudah pukul 8 malam.
"Anjir cepet banget udah jam segini."
"Pesan ojol di hp gue buat nganter lo pulang." kata Javas.
"Gak usah, gue udah minta jemput teman gue. Bye, Jav!" katanya sambil berlari keluar dari ruangan itu.
Diluar sana Zalina sudah melihat orang yang tadi ia ganggu untuk menjemputnya.
"Dorrr!"
Sangga menoleh kearahnya. "Kebiasaan lo."
Zalina hanya menampilkan senyum manisnya. "Ayo pulang."
"Udah makan belum?" tanya Sangga.
"Udah tadi."
Padahal gadis itu belum makan malam, tapi melihat wajah Sangga yang kelelahan karena laki-laki itu baru pulang main futsal, Zalina jadi tidak tega dan dia pun ingin segera rebahan dikasur empuknya.
"Langsung pulang?"
"Iyaaaaaaa."
Sangga menyalakan mesin motornya dan segera meninggalkan parkiran rumah sakit. Sepanjang jalan Sangga terus bertanya tanpa henti.
"Kenapa gak minta anter gue?"
"Pengen aja sendiri."
"Kenapa? ada masalah?"
Zalina menggeleng, Sangga melihatnya dari kaca spion. "Nggak ada, emang gabut aja."
"Lain kali bilang ke gue kalau kemana-mana, Bunda panik waktu tau lo gak ada dirumah."
"Bunda atau lo yang panik?" tanya Zalina sambil melihat Sangga lewat spion.
"Ya dua-duanya lah." balas Sangga sambil tertawa.
"Ganteng amat, Sang." gumamnya masih menatap Sangga lewat spion.
"Hah?"
"Budeg lo!" teriak Zalina dibalik helm Sangga.
"Anj." Sangga masih fokus mengendarai motornya. "Dari toko buku kenapa lo berakhir dirumah sakit? ada yang luka?"
"Gak apa-apa Sanggaa. Tadi gue ketemu orang yang luka dijalan, karena hujan jadi gue bawa dia kesini."
"Ngurus orang aja bisa lo, giliran ngurus diri sendiri susah."
"Bawel lo." sahut Zalina.
Zalina memperhatikan jalanan sekitar, cuacanya cukup menyejukan karena hujan sore tadi. Zalina paling suka moment seperti ini, malam hari ditambah lampu kota yang sudah menyala, jalanan yang masih basah karena air hujan, dan jalanan yang tidak begitu ramai, sangat menenangkan.
"Diem mulu lo, ngantuk?" tanya Sangga.
"Iya, Sang. Ngebut napa." sahut Zalina.
"Enak aja lo, jalan licin begini. Ngebut-ngebut nanti kenapa-napa, mending pelan-pelan tapi pasti."
"Duh iya-iya Pak Ustadz."
Sebenarnya ada tidak sukanya juga Zalina dengan cuaca seperti ini, karena dingin nya menusuk sampai tulang dia. Rasanya dia ingin segera pulang dan tidur didalam selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tanpa Ujung
Teen Fiction(Follow, vote & komen jangan lupa ya) Aku pernah membaca sebuah buku, yang mengatakan "jika hidup janganlah bergantung pada rasa gengsi, karena gengsi bisa menghancurkan dirimu sendiri". Aku pikir, tulisan itu hanyalah sekedar tulisan. Tetapi aku me...