Sudah tujuh hari sejak aku terbangun di ruangan kesehatan milik Profesor Sofia, akhirnya aku bisa kembali lagi ke kamarku yang ada di akademi.
Aku diantar ke kamarku saat malam hari ketika murid-murid lainnya sudah terlelap. Kata profesor Sofia supaya tidak terjadi keributan. Keributan apa itu aku pun tak tau.
"Kau tak tidur?" tanya Neca yang duduk di bahuku.
"Aku belum mengantuk," jawabku. Semenjak kejadian itu aku selalu memikirkan banyak hal, sampai hal yang tidak perlu sekali pun.
Aku melangkah menuju jendela kamar dan membukanya. Aku benar-benar membutuhkan angin malam untuk meredamkan riuh yang ada di dalam kepala.
Tidak ada bulan dan bintang, angin malam pun terasa begitu dingin. Mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Aku segera menutup jendela kamar, tetapi sebelum tertutup sempurna sesuatu masuk begitu cepat dan hampir mengenai wajahku. Untungnya reflekku bagus kali ini.
Aku mengambil benda itu dan membolak-balikkannya. "Ini kartu?" tanya Neca setelah memperhatikan benda itu.
Setelah kuperhatikan terdapat simbol dan tulisan yang tak kumengerti. Aku kembali membuka jendela mencari seseorang di luar sana. Kutemukan bayangan seseorang yang sedang mengintip di balik pohon. Tak pikir panjang aku langsung keluar dari kamar untuk menangkap orang itu.
Merasa ketahuan olehku sosok itu pun berlari keluar dari asrama putri. Sial? Siapa orang itu? Apa maksudnya dengan melempar kartu ke kamarku? Aku tak bisa melihat bagaimana bentuk tubuh orang itu sebab dia menggunakan jubah dan tudung berwana hitam.
Sial, sial, sial. Aku kehilangan jejak orang itu, apa dia bisa teleportasi? Kenapa bisa hilangnya begitu cepat? Mataku memperhatikan sekeliling, setelah sadar aku saat ini berada di hutan belakang akademi dan lebih sialnya lagi kakiku tiba-tiba terasa begitu lemah.
Brug
Aku menabrak seseorang.
"Kenapa malam ini sial sekali?" gerutuku. Ingin bangun saja rasanya kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku.
Aku melihat seseorang yang kutabrak tadi, dia sudah berdiri dan memandangku datar.
"Kau?!" Aku lupa namanya padahal dulu Ayden pernah memberi tauku, tapi kuingat sekali dia adalah laki-laki yang membuatku terkubur di dalam gumpalan salju.
"Apa kau tidak bisa menggunakan kakimu untuk berdiri?" tanyanya mengejek.
"Diam kau." Aku berusaha untuk berdiri, tetapi kakiku saat ini benar-benar seperti jelly. Apa karena aku kelelahan berlari terlalu jauh atau ini salah satu efek dari mana hitam?
"Kau tidak mau membantuku berdiri?" tanyaku ketika sudah mulai lelah mencoba.
"Tidak." Laki-laki itu berjalan meninggalkanku.
"Woi! Setidaknya kau harus bertanggung jawab karena menabrakku!"
Laki-laki itu berhenti. "Selain lemah, murid baru akademi ini juga pintar membolak-balikkan fakta," ejeknya.
Astaga, hati mungilku sepertinya terluka mendengar perkataan setajam silet dari laki-laki itu.
Tidak ingin berdebat karena hari sudah sangat malam, dan aku pun sudah sangat lelah, aku mengalah. "Baik-baik, aku minta maaf karena sudah menabrakmu. Apa kau bisa membantuku? Kakiku benar-benar tidak bisa berdiri." Dia menghela napas seperti orang yang terpaksa menolang.
Dia berjalan mendekatiku dan aku memekik terkejut karena dia mengendongku ala bridal style.
"Hey, apa yang kau lakukan? Turunkan aku?!" Aku memukul dada bidangnya. Tidak seperti ini cara menolong yang aku maksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way Home for Nadindra
FantasyNote : Bukan novel terjemahan! Ini jernih hasil pemikiran sendiri, plagiat jangan mendekat! **** Nadindra adalah murid kelas 3 SMA Swastamita Candrasila. Siapa sangka study tour yang ia ikuti malah menjadi malapetaka. Niat hanya ingin mengambil foto...