Ingin Pulang

98 71 3
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah berada di kelas, belum ada satu pun murid yang datang. Biasanya aku selalu pergi bersama Athalia, tetapi karena dia belum mengetahui aku sudah kembali ke kamar jadi aku pergi sendiri.

Tatapan-tatapan terkejut mulai aku dapatkan saat satu persatu murid mulai berdatangan dan bisik-bisik mereka pun bisa di dengar olehku.

"Kupikir dia sudah meninggal karena kejadian itu." Mataku fokus ke luar jendela, tapi telingaku mendengarkan ucapan mereka.

"Ayahku pernah memberi tau jika seseorang terkena sihir hitam tidak akan bisa diselamatkan kecuali orang itu memiliki sihir tersebut."

"Kupikir dia adalah mata-mata yang dikirimkan oleh musuh untuk mencari tau sesuatu." Telingaku semakin memanas saat segerombolan itu terus menerus membuat cerita yang tidak-tidak mengenaiku.

Mata-mata? Ingin rasanya aku pergi ke sana dan membenturkan kepala mereka di atas meja. Jika aku ada dipihak musuh, aku tidak akan diserang malam itu. Orang-orang di sini kenapa suka sekali memancing darahku untuk naik?

Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu. Athalia, Elio, dan Sakya masuk ke kelas. Mereka pun sama terkejut dengan lainnya saat mereka melihatku.

"Nadin!" Athalia berlari ke arahku dan memelukku. Tak pikir panjang aku pun membalas pelukannya, aku merindukan gadis gulali ini.

"Apa kau baik-baik saja Nadin?" Sakya dan Elio ikut menghampiri Athalia ke tempatku duduk.

Aku mengangguk. "Tentu, jika tidak, aku belum ada di sini."

"Kau membuatku khawatir Nadin, hampir dua minggu kami tidak mengetahui kabarmu karena pihak akademi menutup rapat yang terjadi padamu setelah kejadian itu." Athalia bercerita dengan air mata sudah jatuh membasahi pipi.

"Kami mengkhawatirkanmu," ucap Sakya yang juga ingin memelukku, tetapi ditahan oleh Athalia.

"Jangan sentuh Nadinku," isaknya sambil mengusal hidungnya yang memerah karena nangis.

Aku menatap Elio, tatapan matanya terbesit kekhawatiran sama seperti Athalia dan Sakya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Aku tidak habis pikir kenapa mereka ingin berteman denganmu." Aku langsung menoleh ke tempat murid-murid bergerombol yang membicarakanku tadi.

"Apa itu salah?" tanya Athalia yang menjawab ucapan mereka.

Seseorang berdiri, yang kuketahui namanya Drena. "Iya, itu salah. Orang seperti kau Athalia rasanya tidak pantas berteman dengan orang seperti Nadindra. Penyihir? Kekuatan saja dia tidak punya, mungkin malam itu dia tengah menggoda Elio dan Ezra. Aku melihat Elio mengendongnya dalam keadaan terluka dan memberikannya pada Profesor Fariza. Aku pikir saat penyerangan itu dia hanya menjadi beban yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan menyusahkan orang lain."

"Drena aku pikir kau orang yang pintar mengingat status orangtuamu. Nyatanya? Kau terlihat seperti orang bodoh karena dengan mudah menyimpulkan sesuatu yang hanya kau lihat tidak dari awal," ejek Sakya menyinggung senyum penuh provokasi.

Seorang laki-laki yang ada di sebelah Drena berdiri. "Bisa aja yang diucapan Drena benar. Apa kalian tidak tau? Tidak ada yang bisa hidup dengan normal setelah terkena sihir hitam. Kecuali seseorang itu pun memilikinya."

Mendengar itu Athalia, Sakya, Elio langsung melihat ke arahku? Apa mereka percaya dengan ucapan laki-laki itu? Mataku memanas. Tidak, aku tidak boleh menangis di sini.

"Bung, Elio dan Sakya membelanya mungkin sudah merasakan tubuhnya," ucap teman dari laki-laki itu yang membuat orang-orang yang kontra padaku tertawa.

Aku dibuat terkejut karena Elio bergerak dengan cepat memukul laki-laki yang mengejekku tadi dengan membabi buta. Tak tinggal diam, Sakya membantu Elio saat teman dari laki-laki itu ingin menyerangnya. Sama halnya dengan Athalia yang menyerang Drena dan juga teman-temannya.

Kacau, kelas ini bisa menjadi tempat pertumpahan darah jika tidak dihentikan. Aku mengumpulkan manaku kemudian menciptakan banyak gelembung besar. Aku menggerakkan tanganku, dan gelembung-gelembung itu bergerak ke arah mereka dan membuat mereka terjebak di dalamnya, kecuali Elio, Athalia, dan Sakya aku meminta mereka untuk berhenti. Akan aku selesaikan masalahku dengan caraku.

Kata Profesor Fariza air selalu menyimpan ingatan seseorang, gelembung yang aku buat berisikan ingatanku saat penyerangan malam itu. Hanya sampai aku terkena anak panah yang dilumuri sihir hitam dan mereka semua menjerit kesakitan. Apa mereka juga bisa merasakannya? Aku langsung memecahkan gelembung yang aku buat.

"Aku memiliki sihir seperti kalian dan aku tidak lemah. Asal kalian semua tau, aku bisa membunuh kalian saat ini juga, hanya saja aku tidak ingin menjadi murid bermasalah di sini. Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak tentang aku, kalian sudah melihatnyakan? Aku begitu tersiksa karena anak panah itu." Mereka semua terduduk lemas. Lebih baik seperti inikan? Daripada terluka secara fisik?

"Dan apa kalian mempercayai ucapan laki-laki tadi jika aku memang memiliki sihir hitam? Jawabanku entahlah, aku hanya orang yang tidak tau apa-apa di sini. Itu hak kalian ingin percaya atau tidak, jika menurut kalian berteman denganku adalah bahaya maka jauhilah aku dari sekarang." Setelah mengucapkan itu aku mengambil tas dan berjalan meninggalkan kelas. Emosiku begitu meluap-luap hari ini, aku takut jiwaku yang sudah tercemar itu mengambil alih.

Aku keluar dari kelas sebelum pelajaran dimulai, pikiranku kacau sekarang, aku harus segera menenangkan diri. Aku berjalan menuju sungai tempat aku berlatih bersama Profesor Fariza. Aku duduk di tepiannya dan menangis.

"Menangislah, ucapan mereka memang sangat menyakitkan," ucap Naci menenangkan, tangan kecilnya memeluk lenganku. Aku melupakannya yang selalu mengikutiku.

Tangisan kupecah. Aku ingin pulang, orang-orang di dunia ini jahat. Tidak apa-apa jika setiap hari harus mendengar omelan ibuku, tidak apa-apa jika aku dengan Elio tidak saling mengenal. Aku hanya ingin berada di duniaku yang tidak memiliki sihir.

"Naci, aku ingin pulang."

"Ayo, kita kembali ke akademi."

Aku menggeleng. "Aku ingin pulang ke rumah." Naci yang mengetahui segalanya tentangku hanya diam. Dia paham yang aku maksud.

"Aku tersiksa berada di tempat ini. Aku ingin bertemu dengan ibuku, aku merindukan masakannya, aku rindu dia memarahiku, aku ingin pulang ke rumah. Rumah yang aman untukku berlindung dan rumah yang menerimaku pulang."

Aku tiba-tiba teringat dengan ucapan Raja Stefon ayahnya Florensia yang menyuruhku untuk pergi ke Desa Olasri dan bertemu tetua desa itu.

Aku segera berdiri dan berjalan kembali ke akademi.

"Kau mau ke mana?" tanya Neca.

"Menemui Elio."

Saat aku baru berdiri, angin tiba-tiba saja berhembus dengan kencang. Aku mengurungkan niatku untuk kembali melangkah ke akademi.

"Naci, perasaanku tidak enak."

Naci memejamkan matanya seperti merasakan sesuatu. "Nadin, ayo cepat kembali ke akademi."

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

A Way Home for NadindraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang