Aku bangun pagi sekali hari ini, bahkan matahari saja masih enggan menampakkan dirinya. Seperti yang aku bicarakan dengan Elio lusa lalu, kami hari ini akan berangkat ke desa Olasri setelah kemarin malam meminta izin dengan kepala sekolah akademi.
Aku memasukkan perbekalan di dalam tas tidak lupa dengan pin pohon redwood yang diberikan Raja Shefon padaku. Setelah semuanya kuanggap selesai, aku keluar dari kamar dengan cara mengendap agar tidak membangunkan murid lainnya.
Kemarin malam aku dan Elio sepakat untuk bertemu di ruang kepala sekolah karena beliau ingin membantu kami dengan membukakan teleportasi menuju Desa Olasri.
Sesampainya di ruangan Profesor Davian aku langsung masuk dan ternyata sudah ada Elio di sana.
"Aku tidak menyangka kalian akan datang pagi-pagi sekali," ucap Profesor Davian saat melihat kedatanganku.
"Kupikir semakin cepat akan semakin baik." Aku menanggapi ucapakan Profesor Davian dengan tersenyum tipis.
"Baiklah, aku akan membukakan teleportasi menuju Desa Olasri, tetapi aku tidak bisa mengantarkan kalian langsung ke rumah tetua di sana karena aku tidak tau di mana letak rumah tetua itu. Aku akan membukakan teleportasi tepat di gerbang masuk Desa Olasri."
"Tidak apa-apa, Profesor. Terima kasih untuk bantuannya, kami lebih menghemat waktu berkatmu." Setelah mendengar ucapanku, Profesor Davian membacakan sebuah mantra untuk membuka teleportasi.
Lubang berwarna orange terbuka, setelah aku perhatikan teleportasi milik Profesor Davian berbeda dengan milik Profesor Tristan yang berwarna biru tua.
"Masuklah. Jika sudah sampai ke rumah tetua itu kirimkan salamku."
Aku mengangguk. "Baik, Profesor. Kami pergi dulu." Aku melambaikan tanganku setelah Elio masuk lebih dulu.
"Berhati-hatilah, Nadindra." Itulah suara terakhir yang aku dengar dari Profesor Davian sebelum sampai ke Desa Olasri, tepatnya di depan gerbang desa itu.
"Kita masuk sekarang?" tanyaku pada Elio.
"Ya, ayo, kita masuk." Aku berjalan di sebelah Elio, mengamati desa yang masih begitu sepi. Kalau seperti ini bagaimana kami bisa tau di mana rumah tetua itu?
"Sepertinya penduduk di desa ini masih tidur." Aku memperhatikan sekeliling, pintu dan jendela rumah penduduk masih tertutup rapat dan udara di desa ini terasa sejuk sekali.
"Sepertinya begitu." Aku dan Elio melanjutkan perjalan di Desa Olasri ini untuk mencari rumah penduduk yang sudah terbuka karena kami butuh tempat untuk bertanya. Seperti kata pepatah malu bertanya sesat di jalan.
"Seperti ada yang aneh di desa ini." Aku menoleh ke arah Elio dan kembali memperhatikan sekeliling. Matahari sudah menampakkan dirinya, tetapi penduduk desa ini belum satu pun yang menampakkan diri. Apa hari ini tanggal merah dan mereka semua sedang berlibur? Atau semua penduduk di desa ini pengangguran? Aku menepis semua kemungkinan aneh yang terbesit di kepalaku.
"Nadindra, coba kau lihat ini." Aku menghampiri Elio yang tengah berjongkok.
"Apa itu?" tanyaku setelah melihat sesuatu yang ditunjuk Elio.
"Jejak kaki, coba kau perhatikan sekelilingmu. Jejak kaki ini ada di mana-mana." Aku baru menyadari hal ini, Apa penduduk di desa ini bukan manusia? Aku bahkan tidak melihat jejak kaki manusia di sini.
"Sepertinya kita kedatangan tamu." Aku langsung menoleh ke sumber suara. Betapa terkejut dengan apa yang aku lihat. Ada begitu banyak hewan bertubuh besar, bersisik keras dan hewan itu memakai baju? bisa berdiri? Tunggu yang benar aja! Kenapa di dunia ini semua isinya sulit untuk aku cerna.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way Home for Nadindra
ФэнтезиNote : Bukan novel terjemahan! Ini jernih hasil pemikiran sendiri, plagiat jangan mendekat! **** Nadindra adalah murid kelas 3 SMA Swastamita Candrasila. Siapa sangka study tour yang ia ikuti malah menjadi malapetaka. Niat hanya ingin mengambil foto...