Tetangga baruku, Min Yoongi, datang ke Seoul untuk mencari suasana baru. Itulah katanya, tapi menurutku alasannya lebih dari itu. Dia orang yang baik, menyenangkan, dan bisa diandalkan. Perlahan-lahan mungkin sejak Malam Natal itu aku mulai memandan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jie berdiri di koridor lantai dua gedung perpustakaan tempatnya bekerja, di samping mesin penjual kopi yang—mengikuti tema bulan Desember—tiba-tiba saja sudah dipenuhi hiasan Natal. Jie memegang cangkir kertas berisi kopi panas dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga.
“Ya, aku akan pulang pada Hari Natal,” katanya di ponsel sambil memandang ke luar jendela kaca besar yang menghadap halaman depan gedung perpustakaan.
“Kau akan tinggal di sini sampai setelah Tahun Baru, bukan?” Suara berat ayahnya terdengar di ujung sana.
“Tentu saja,” sahut Jie sambil menyesap pelan kopinya. “Ngomong-ngomong, Pa, Mama masih di Jakarta?”
Sejak kecil ia selalu memanggil orangtuanya dengan Papa dan Mama, bukan Oemma dan Appa. Ia juga tidak yakin kenapa. Mungkin karena didikan ibunya yang orang Indonesia, tetapi ayahnya juga tidak keberatan. Sebenarnya ibunya sendiri juga blasteran Indonesia-Korea. Kakeknya dari pihak ibu adalah orang Indonesia dan neneknya orang Korea. Sedangkan ayah dan ibu Jie awalnya tinggal di Seoul, lalu tiga tahun lalu mereka pindah ke Daegu, kampung halaman ayahnya, untuk mencari suasana yang lebih tenang. Ayahnya memang tidak pernah terbiasa dengan hiruk-pikuk kota Seoul. “Ya, tapi ibumu akan pulang minggu ini,” sahut ayahnya. “Katanya kesehatan kakekmu sudah membaik.”
“Baguslah,” kata Jie sambil mengangguk-angguk.
Minggu lalu ibunya pulang ke Jakarta karena mendengar kakek Jie harus menjalani operasi usus buntu, tetapi operasinya berhasil dengan baik dan kakeknya sudah sehat kembali.
Setelah meyakinkan ayahnya bahwa ia akan melewatkan Tahun Baru di Daegu, Jie menutup ponsel dan mengantonginya. Baru saja ia hendak menyesap kopinya, ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dan melihat tulisan yang muncul di layar.
“Yoboseo? Taehyung-ie, ada apa?” kata Jie begitu ponsel ditempelkan ke telinga.
“Nuna, punya waktu malam ini?” Terdengar suara ceria Tae di ujung sana.
“Memangnya ada apa malam ini?”
“Yuna Nuna, aku, dan Yoongi Hyung mau pergi minum-minum malam ini,” jelas Tae. “Anggap saja sebagai pesta kecil-kecilan menyambut tetangga baru. Sebelum itu kita akan makan malam bersama di tempat Kakek dan Nenek Osawa.” Mendengar nama Min Yoongi, pikiran Jie langsung melayang ke kejadian kemarin malam dan tiba-tiba pipinya terasa panas. Ia memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mengusir kenangan memalukan itu. Astaga! Tetangga barunya pasti menganggap dirinya semacam penguntit psycho atau tukang intip...
“Nuna?”
Lamunannya buyar dan Jie berusaha memusatkan perhatiannya kepada Tae. “Ya? Maaf, apa katamu tadi?”
“Jadi bagaimana? Jie Nuna bisa ikut?”
“Malam ini tidak bisa,” kata Jie setelah berpikir sesaat. “Seorang rekan kerjaku berulang tahun dan dia mengajak kami pergi makan dan karaoke. Aku sudah janji akan ikut.”