Tetangga baruku, Min Yoongi, datang ke Seoul untuk mencari suasana baru. Itulah katanya, tapi menurutku alasannya lebih dari itu. Dia orang yang baik, menyenangkan, dan bisa diandalkan. Perlahan-lahan mungkin sejak Malam Natal itu aku mulai memandan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"JADI polisi sudah.. sudah tahu siapa yang menyerang mu waktu itu?” tanya Jie dengan mata terbelalak. “Mereka benar-benar sudah tahu siapa orangnya?”
Mereka duduk berhadapan di warung mie langganan mereka dengan dua mangkuk ramen panas di meja. YG baru saja bercerita tentang apa yang dikatakan pamannya tadi siang tentang kecelakaan yang menimpanya dan membuatnya hilang ingatan itu.
YG mengangkat bahu. “Begitulah kata pamanku. Tapi pada tahap ini kurasa mereka hanya memiliki kecurigaan. Belum bisa dipastikan.”
“Itu juga sudah bagus. Itu berarti polisi kita benar- benar sudah bekerja keras,” kata Jie penuh semangat. Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan kening berkerut, “Yoon, mungkinkah orang-orang itu penagih utang?”
“Aku tidak punya utang.”
Jie meringis. “Kau kan tidak ingat apa-apa.”
Sebenarnya sejak tadi ada sesuatu yang ingin ditanyakan Jie kepada YG, tetapi ia terus menundanya. Ia melirik YG yang makan dengan lahap di hadapannya. Apakah ia harus bertanya? Tetapi untuk apa pula ia bertanya? Ia tahu ia hanya akan sakit hati, tetapi... Ia melirik YG sekali lagi, lalu bertanya dengan suara yang diusahakan terdengar ringan, “Oh ya, di mana Yuri? Kau tidak mengajaknya makan bersama kita?”
“Dia pergi ke luar kota,” sahut YG singkat tanpa mengangkat wajah dan terus melahap ramen-nya.
“Oh?” Jie mengerjap kan mata. Bahunya merosot. “Jadi karena Yuri sedang tidak ada, kau baru datang mencari ku? Begitu?” gumamnya kecewa.
“Apa?” tanya YG sambil mengangkat wajah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tidak. Tidak apa-apa,” sahut Jie cepat sambil menggeleng. Ia merasa kesal pada diri sendiri karena sudah menanyakan hal tidak berguna tadi. Memangnya apa yang diharapkannya dari YG? Astaga, ia harus berhenti berharap yang tidak-tidak, sebelum ia berubah gila dan tidak bisa membedakan impian dengan kenyataan.
Sadarlah, Lee Jieun. Hadapi kenyataan. Kenyataan apa? Kenyataan bahwa saat ini YG duduk di hadapannya, mengobrol dengannya, tersenyum kepadanya dengan cara yang selalu diingatnya? Ya Tuhan, seperti kenyataan dan impian mulai bercampur aduk dalam pikirannya. Bagaimana ini?