Teman Baru

6.3K 388 10
                                    

Athan merengut. Ia masih menerima suapan dari Adara, tapi tak mau merespon kakak-kakaknya sama sekali. Hanya diam dan berdehem pelan, jelas sekali anak itu tengah merajuk.

Setelah 2 hari dirawat, akhirnya Athan diperbolehkan pulang ke rumah. Ia terpaksa membekali berbagai catatan dari dokterㅡdimana semua itu berhasil membuat si bungsu kesal.

Bagaimana tidak, ia dilarang mengikuti seluruh rangkaian acara MPLS sampai akhir, diharuskan bedrest beberapa hari dulu katanya, dan diizinkan kembali ke sekolah saat minggu efektif pembelajaran dimulai.

Atala tahu adik kembarnya itu pasti inginkan kehidupan normal seperti anak-anak yang lain. Tapi, ia tidak bisa berbuat banyak. Melanggar aturan demi membahagiakan adiknya pun bisa saja membawa dampak buruk nantinya.

Berdasarkan tes spirometri (rangkaian tes untuk mengevaluasi fungsi paru-paru) yang sempat dilakukan kemarin, saturasi oksigen dalam tubuh Athan terbilang cukup rendahㅡatau hampir ditahap sangat rendah.

Atala bahkan sampai susah tidur karena tidak tega melihat adiknya mengeluh kesulitan dalam mengambil napas, padahal alat bantu napas berjenis high-flow nasal cannula sudah menemani sepanjang hari.

Mengijinkan Athan untuk belajar di sekolah umum sebenarnya adalah keputusan yang berat. Dengan kondisinya sekarang yang sangat rentan, kecil kemungkinan anak itu bisa beradaptasi dengan cepat di lingkungan baru.

Contohnya saja kemarin, baru satu hari ia menjalani masa MPLS yang sebenarnya tak terlalu menguras tenaga, tapi Athan tetap drop karena kelelahan. Dokter juga sempat mempertimbangkan kembali perihal izin Athan untuk sekolah umum.

Saat ini Atala sedang berada di kamar bersama Athan. Sebagai anak kembarㅡpun atas pertimbangan lain, mereka sudah ditempatkan di kamar yang sama sejak kecil. Katanya, jika Athan mengalami sesak napas saat tidur, Atala bisa cepat meminta bantuan.

Apalagi dalam beberapa kondisi, Athan bisa mengalami gagal napas dalam tidurnyaㅡdimana itu merupakan kegawatan yang membutuhkan pertolongan sesegera mungkin. Atala tak pernah keberatan dengan semua tanggung jawab itu.

Sama halnya seperti Adara, Arion, atau Arsen, Atala pun seringkali terdiam sembari memperhatikan bagaimana dada Athan naik dan turun. Walaupun temponya lambat, tapi ia bersyukur karena masih melihat adiknya bernapas.

"Kak ..."

"Kenapa, dek? Kamu butuh sesuatu?"

"Ini ... Lepas ..." Tangannya yang lemas berusaha menunjuk masker oksigen yang ia kenakan. Atala diam sejenak, ingin menuruti permintaan itu tapi angka pada layar monitor di samping ranjang masih menunjukkan saturasi yang rendah. "Kakak ... Lepasin ..." Athan kembali melenguh.

Perlahan Atala menyentuh pipi tirus Athan, mengusap air mata yang mulai jatuh. "Gak nyaman, ya? Tapi, adek masih butuh. Kakak gak mau adek sesak lagi. Tahan sebentar lagi, ya? Kalau perlu ayo bagi sakitnya sama kakak, 'kan kita kembar, seharusnya kita sama-sama sakit. Maaf, ya, maafin kakak yang gak bisa bantu apa-apa."

Athan kembali menangis. Tidak, ia tidak menangis karena rasa sakit saat menarik napas, atau rasa tidak nyaman karena dadanya terasa ditekan kuat oleh sesuatu. Athan menangis karena melihat bagaimana keempat saudaranya selalu menyalahkan diri atas kondisinya.

Tangannya yang masih lemas kembali terangkat dengan susah payah, mengambang di udara hendak menyentuh wajah Atala. Menyadari hal itu, sang kakak kembar pun lantas menarik tangan adiknya, membuat tangan itu menyentuh pipinya.

"Kak, ayo hidup bahagia ..."

Atala tersenyum, lantas mengangguk, "Ayo."

***

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now