Egois

3.6K 302 40
                                    

"Ma, besok ada pembagian rapot di sekolah Atala."

"Datengnya sama kak Adara aja, ya?"

"Karena Athan lagi?"

***

Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, Atala tahu itu. Selagi dirinya terus memperhatikan bagaimana Athan terlelap, pikirannya mengudara, kilas balik masa lalu berputar disana. Membuat ia menertawakan dirinya sendiri dalam hati.

Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah dengan seragam putih-merah, untuk pertama kalinya juga Atala merasakan rasanya memiliki teman. Sebab selama ini ia juga terkurung di dalam tempat yang sama dengan sang kembaran.

Saat itu, Atala pulang dengan riang, kakinya bergerak penuh semangat sekalipun seragam yang membalut tubuhnya tak lagi rapi. Senyuman lebar ia berikan, menyapa satu persatu pekerja di rumah dengan ramah. Saat ditanya oleh Arsen, jawabannya sederhana; Atala senang, ia memiliki banyak teman baru.

Sayangnya, Athan—yang tak sengaja mendengarkan kalimat itu, mengartikannya salah. Athan mengira jika Atala sudah bosan menemaninya, sudah bosan berbagi sepi bersamanya, sudah bosan bersama dirinya. Hingga hari pertama Atala masuk sekolah dasar, menjadi hari dimana Athan masuk rumah sakit lagi karena kambuh.

"Atala 'kan tahu adeknya gak bisa sekolah kayak Atala. Jadi, seharusnya Atala lebih peka, lebih bisa ngerti posisinya adek gimana. Atala paham 'kan sama ucapan Papa?"

"Jadi, Atala gak boleh ceritain tentang sekolahnya Atala sama Athan?"

"Bukan cuma sama Athan, tapi sama semua orang di rumah." Papa mengusap rambut Atala dengan lembut, menghantarkan kehangatan yang justru semakin membuat senyum Atala memudar. "Kita harus jaga perasaannya adek, ya? Jangan sampai adek kambuh lagi kayak gini, nanti Mama sama Papa jadi sedih."

Sejak saat itu Atala mengerti satu hal. Secara tidak langsung, ia tidak diizinkan untuk mengekspresikan perasaan dirinya sendiri. Atala tidak boleh terlihat bahagia, Atala harus menjaga perasaan Athan, dan semuanya harus tetap berjalan seperti itu.

Sampai akhirnya Atala sadar, ia tidak bisa bebas menjadi manusia dan menjadi dirinya sendiri.

***

Sejak terbangun, Athan beberapa kali mengaduh sakit pada area tenggorokannya. Katanya perih saat menelan dan ia jadi tidak bisa leluasa untuk berbicara. Arion sudah memberi pengertian, menjelaskan jika itu efek penggunaan ventilator—alat bantu napas yang sempat adiknya gunakan. Tapi, seolah tidak mendengarkan, Athan masih terus merengek.

Di dalam ruang rawat tersebut, Atala duduk di samping ranjang. Arsen masih harus menyelesaikan beberapa hal di kampus, Arion masih dalam waktu shift-nya, dan Adara belum pulang dari kantor. Hari ini Atala terpaksa meliburkan diri, disaat seharusnya ia menjalani ulangan harian bersama teman-teman sekelasnya.

"Kenapa?" Tanya Atala, ia melihat adiknya bergerak—berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Dengan cepat, Atala memberi bantuan. Ia segera menekan tombol untuk menaikkan posisi ranjang hingga menjadi setengah berbaring.

"Minum ..." Athan melirik gelas bening yang ada di atas nakas.

Mendengar permintaan itu, tangan Atala bergerak untuk meraih gelas yang dimaksud oleh adiknya. Dengan penuh kehati-hatian, ia menurunkan masker oksigen yang Athan kenakan, kemudian mengarahkan ujung sedotan ke mulut sang adik.

Atala akan kembali memasangkan alat bantu pernapasan itu saat Athan lebih dulu menghentikan pergerakannya. "Ganti ... gak suka pake ini ..." Lagi, suara lirih adik kembarnya mengalun masuk ke gendang telinga Atala.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now