Atala capek, ya?

3.1K 228 28
                                    

Pagi ini, si kembar Prahaja sudah siap dengan seragam sekolahnya masing-masing. Setelah lama absen, kini keduanya sudah mengantongi izin untuk kembali ke Sekolah. Tentu saja dengan berbagai macam persyaratan, terutama untuk si bungsu, Athan.

Walaupun sempat ditentang keras, keputusan untuk berangkat menggunakan sepeda pun akhirnya disetujui oleh Arion. Atala sudah membawa sepeda yang ada di bagasi rumahnya itu ke bengkel kemarin, memperbaiki bagian yang rusak dan menambah jok pada bagian belakang untuk tempat adiknya duduk.

Atala benar-benar memenuhi keinginan Athan.

"Dek, kok diem terus?" Atala bersuara, sedikit berteriak karena jalanan mulai ramai dengan suara kendaraan bermotor. Sudah setengah perjalanan, namun Atala tidak mendengar apapun dari belakangnya. Padahal biasanya Athan akan bercerita banyak hal sepanjang perjalanan.

"Dek?" Suara Atala terdengar, lagi.

"Tal, orang-orang itu ... mereka beruntung, ya?"

"Memangnya kenapa?"

"Mereka bisa bebas dalam banyak hal, termasuk buat napas," ucap Athan diakhiri dengan tawa kecil diakhir. Atala hanya diam, tidak segera menanggapi. Walaupun matanya sesekali melirik ke sekitar, menatap orang-orang yang berlalu lalang di atas trotoar dengan aktivitasnya masing-masing.

Ada anak-anak sekolah yang berjalan beriringan, ada pegawai kantor di antara penuh sesaknya halte, ada juga pendagang yang memikul barang bawaannya di pundak. Ada banyak sekali yang terlihat dan Atala sedikit banyaknya paham mengapa adiknya mengatakan hal itu.

"Dek, kamu tahu? Di dunia ini gak ada orang yang gak beruntung. Semua orang itu punya porsinya masing-masing, keberuntungan yang mereka punya bisa dalam bentuk yang berbeda." Atala kembali mengayuh sepedanya setelah berhenti beberapa saat karena lampu merah. "Itulah kenapa Tuhan minta kita buat bersyukur sama apa yang kita punya sekarang. Karena kalau terus-terusan compare sama nasib orang lain, kita gak akan pernah ngerasa cukup."

Athan terdiam. Kali ini ia tidak mengacuhkan ucapan Atala seperti sebelum-sebelumnya, kini ia mulai menyerap setiap frasa yang keluar dari bibir sang kembaran. Sekalipun masih ada pertanyaan yang mengganjal; apakah memiliki paru-paru yang rusak juga sebuah keberuntungan?

Hingga tak terasa, akhirnya mereka telah sampai di Sekolah. Atala sempat menyapa dan tersenyum pada sekuriti. Sedangkan Athan, senyumnya tidak terlihat dibalik masker yang ia kenakan, tapi sekuriti pun tahu jika ia melakukan hal yang sama.

Lingkungan Sekolah sudah mulai ramai, Atala bersyukur ia masih mendapat tempat untuk memarkirkan sepedanya. Kini, setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mulai berjalan beriringan bersama sang adik. Kegiatan yang rasanya sudah lama sekali tidak mereka lakukan.

***

Athan membatu di tempatnya berdiri, tidak tahu harus bersikap atau berbicara seperti apa. Sebab situasi yang ada didepannya benar-benar membuat ia canggung. Athan memang sangat tidak menyukainya, tapi ia juga tidak memiliki opsi untuk menghindarinya.

Dihadapannya kini Atala mulai dikerubungi. Anak-anak kelas menyambut merekaㅡralat, menyambut Atala dengan antuasias. Mereka menanyakan banyak hal, dari penyebab kenapa Atala masuk Rumah Sakit, dan pertanyaan seperti, "Kenapa lo gak ngijinin kita buat jenguk, sih? 'Kan kita khawatir sama lo, Tal."

"Khawatirnya cuma sama Atala aja, ya?"

Athan tersenyum kecut. Ia merasa dilupakan, tidak ada yang meliriknya sama sekali. Bahkan Atala sendiri mulai larut dalam obrolan menyenangkan itu. Hah, Athan mengusap dadanya perlahan. Ia tidak mau membebani diri di hari pertama masuk sekolah.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now