Tentang Arsen

2.1K 205 73
                                    

Mulai part ini alurnya bakal (agak) cepat.

"Kak, Athan kok akhir-akhir ini tidur mulu, ya?"

Arion sejenak menghentikan aktivitasnya, kemudian melirik ke bed tempat Athan berbaring. Adik bungsunya terlihat masih terlelap disana, dadanya bergerak naik turun dengan normal, walaupun masker oksigen masih membantunya untuk bernapas.

Sudah satu minggu lebih berlalu. Setelah berunding dengan Galih, dokter penanggung jawab Athan dan Wisnu, dokter penanggung jawab Atala, akhirnya didapat kesepakatan dimana kedua anak kembar itu diizinkan berada di satu ruangan. Awalnya Atala menolak, namun Athan memaksa. Katanya ia ingin terus berada di dekat saudara kembarnya.

Jika ditanya apakah Athan tahu mengenai sakitnya Atala, jawabannya ada tidak. Demi menjaga kondisi anak itu yang masih naik turun, keempat kakaknya sepakat untuk menyembunyikan hal ini. Menunda fakta bahwa kini Atala adalah seorang pejuang kanker sampai Athan dirasa siap untuk mengetahuinya.

Lagipula, Atala sendiri belum sanggup untuk melihat reaksi adiknya nanti. Saat kabar tentang penyakitnyaㅡyang disampaikan langsung oleh Wisnu kepada keluarganya, Atala merasa sangat bersalah. Sejak awal ia sudah menduga jika memang ada yang salah pada dirinya, tapi tak pernah terbayangkan jika itu masuk ke dalam deretan gejala awal dari kanker yang kini bersemayam dalam tubuhnya.

Adara menangis, tentu saja. Wanita itu tidak banyak berbicara, ia hanya menangis dan memeluk Atala dengan erat. Walaupun pelukan itu adalah salah satu keinginan Atala sejak lama, tapi dipeluk dengan perasaan sesak yang bergumul di dalam dada tentu tidak ada dalam wishlist-nya. Atala tidak suka melihat kakaknya menangis, apalagi jika ia adalah penyebabnya.

Arion tak kalah hancur. Laki-laki itu bahkan terus-menerus meminta maaf atas takdir yang di luar kendalinya. Meminta maaf karena telah lalai dalam menjaga Atala, padahal tanpa perlu diperjelas pun, rasanya seluruh dunia tahu sebesar apa kasih sayang Arion pada seluruh keluarganya, termasuk Atala.

Berbeda dengan kedua kakaknya, Arsen justru menunjukkan reaksi yang berbeda. Kakaknya itu hanya diam. Tidak menangis, tidak nampak sedih, tidak pula mengatakan apapun. Arsen bisa duduk menemaninya selama berjam-jam tanpa melakukan apapun. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, Atala sama sekali tidak bisa menebak.

Alih-alih terpuruk dengan kondisi tubuhnya sekarang, Atala justru sedih melihat keluarganya. Anak itu tidak menangisㅡatau belum, Atala terus mencoba tetap tersenyum, menampik semua pikiran negatif yang semakin gencar mengusik tidur nyenyaknya. Walaupun jauh dalam kesendirian kala malam tengah memeluknya, Atala merasa hancur.

"Kemungkinan efek obat. Athan juga 'kan pernapasannya belum stabil, masih gampang capek, jadi bawaannya pengen tidur terus. Gapapa kok, itu bukan hal buruk," ucap Arion.

Setelah selesai mengganti infus adiknya, Arion kemudian menarik kursi untuk duduk di samping ranjang. Hari ini merupakan hari ketiga sejak dirinya kembali bekerja, setelah dirasa kondisi kedua adiknya sudah mulai membaik. Ya, meskipun kenyataannya tidak sepenuhnya seperti itu.

"Kapan aku dibolehin pulang, kak? Aku takut nanti adek makin penasaran sama sakitnya aku. Lagian mana ada orang demam sampe berhari-hari gini," keluh Atala yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Arion. "Kak ... pulang aja, ya? Aku udah baikan kok."

"Kondisi tubuh kamu juga masih naik turun, Atala. Tunggu sampai jadwal kemoterapi kamu keluar, ya."

"Kak." Panggil Atala. "Aku ... harus di kemo, ya?"

Arion kembali tersenyum, laki-laki itu kemudian meraih tangan Atala dan mengusapnya. "Dek, kita beruntung karena kankernya terdeteksi lebih dini. Tapi, kakak tetep gak mau ambil resiko kalo dibiarin gitu aja, gak menutup kemungkinan perkembangannya bisa lebih cepat. Kemo bisa mencegah penyebaran. Kakak cuma pengen yang terbaik buat kamu."

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now