Adek Drop

5.7K 312 26
                                    

Dulu, sebelum memantapkan hati untuk terjun di dunia medis, Arion sempat berpikir; Apakah ia sanggup?

Mama dan Papa tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk menjadi seperti apa yang orang tua di luar sana inginkan. Adara tidak dituntut untuk menikah setelah lulus menjadi sarjana, Arion tidak dituntut untuk menekuni bisnis dan menerjang arus yang sama seperti Papa, begitupun Arsen, Atala, dan Athan yang tidak dituntut mendapatkan nilai sempurna dimanapun mereka menimba ilmu.

Tapi, setelah kedua orang tuanya pergi, Arion sadar bahwa ia tidak bisa terus menerus berada di dalam zona aman, tidak bisa terus mengandalkan Adara untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Itulah mengapa ia berusaha keras, berharap jalan yang ditempuhnya setidaknya mampu meringankan beban si sulung.

Namun, Arion keliru. Ia belum sehebat dan sekuat itu, belum benar-benar mampu berdiri tegak dan membantu Adara menguatkan adik-adiknya. Sebab sesering apapun ia bertemu dengan pasien dan menangani mereka, hatinya tetap runtuh saat Athan menjadi salah satu diantaranya.

Langkahnya melebar, menyesuaikan diri dengan laju brankar yang didorong cepat masuk ke dalam ruang Instalasi Gawat Darurat. Sejenak Arion menoleh ke belakang, tepat dimana kedua saudaranya yang lain berada disana dengan wajah yang kacau.

Walaupun samar, kalimat "Tolong selamatkan adek, kak." ㅡmasih bisa diterima oleh rungunya dengan baik.

***

Matahari sudah tampak menyorot masuk dari jendela. Dengan langkah gontai, Atala mendekati kakak pertama dan ketiganyaㅡyang entah sudah berapa lama terjaga sembari duduk di ruang tunggu itu.

Ada sesal dan sesak yang bercampur menjadi satu, melemahkan tungkainya untuk semakin memangkas jarak. Beruntung karena Adara menyadari kehadiran Atala disana sebelum ia berbalik arah.

"Atala? Sini sayang." Suara lembut Adara mengalun masuk ke dalam indera pendengarannya, Atala semakin merasa bersalah. Bahkan setelah kesalahan yang sudah ia lakukan, ia tetap diperlakukan seperti ini, disaat seharusnya Adara melayangkan amarah atau mungkin tamparan.

"Kak ... Adek di ICU ..."

Dunianya seolah berhenti dalam sekejap. Atala menahan napas karenanya, sebelum ia merasa luka di hati kembali basah. Pantas saja ia merasa sesak dan sakit di sekujur tubuh sebelum menyusul ke Rumah Sakit, ternyata karena "jiwa"-nya yang lainㅡyang dulu pernah berbagi plasenta ibu dengannya, tengah berjuang dari rasa sakit yang jauh lebih besar.

"Adek ... kenapa, kak?"

"Masih nanya kenapa? Bukannya kamu yang udah bikin adek kayak gini?" Arsen menyahut, nadanya terdengar tidak ramah. Adara lantas menegur, namun tak ayal membuat Arsen berhenti menyalahkan adiknya. "Kamu pasti anggap kita bodoh, ya? Kali ini kamu menghindari adek karena apa? Dia bikin kamu repot di sekolah atau kamu udah muak direpotin sama adek?"

"Arsen!" Tegur Adara sekali lagi. "Jangan gitu ngomongnya."

Atalaㅡobjek yang menjadi pemicu naiknya emosi Arsen itu hanya mampu menundukkan kepala. Kakaknya benar, Athan seperti ini pasti karena dirinya. Padahal mereka mati-matian menjaga kondisi si bungsu agar tetap stabil, tapi Atala justru mengacaukan semuanya.

Ia lupa jika saudara kembarnya serapuh itu, bahkan lebih rapuh dari yang pernah Atala bayangkan. Belasan tahun bukan waktu yang sebentar, tentu saja. Atala tak sekali dua kali bersikap seperti ini, menghindari Athan hanya karena alasan sepele.

Ia tidak suka saat adiknya mulai insecure dan membandingkan diri dengan orang lain, ia tidak suka saat adiknya mulai meracaukan kata-kata tidak jelas dan menyayat hati, ia tidak suka saat adiknya sakit. Tapi, cara Atala menyampaikan ketidaksukaannya selalu salah, selalu membuat orang lain salah paham.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now