Permintaan Terakhir

4K 234 52
                                    

Waktu yang berjalan cepat ini nyatanya tak sedikitpun meninggalkan kenangan indah bagi Arionㅡpun saudara-saudaranya yang lain. Hari demi hari yang mereka lewati kini dipenuhi oleh rasa takut, bahkan tak terhitung sudah berapa kali Arion terjaga sepanjang malam.

Sudah satu bulan sejak Atala didiagnosa leukemia, prosedur kemoterapi pun sudah mulai dilakukan. Arion yang mendampingi semua dari awal hingga saat ini dan menjadi saksi sebanyak apa perubahan pada adiknya. Berat badan Atala menurun drastis, nafsu makan anak itu berkurang jauh, dan bisa berakhir memuntahkan makanan yang sudah masuk.

Seperti saat ini, Atala baru bisa beristirahat setelah mengeluarkan isi perutnyaㅡyang sebenarnya hanya berupa cairan saja, sebab selama satu hari ini belum ada makanan yang berhasil masuk. Atala mengadu lidahnya terlalu pahit, pun rasa mual yang terus-menerus hadir.

"Arsen bawain kamu puding. Dimakan, ya?" Arion bersuara. Ditatapnya Atala yang tengah sibuk mengatur napas. "Setidaknya ada makanan yang masuk, kakak gak mau berat badan kamu makin turun. Kamu juga gak mau dipasangin selang makan, 'kan?"

Atala membuka matanya perlahan, terlihat jelas lingkaran hitam disekitar matanya. Jujur saja, Arion tidak tega melihat itu. Selama proses pengobatan, Atala memang tidak banyak mengeluh, jarang sekali anak itu melayangkan protes. Itulah yang semakin membuat Arion terluka, kenapa Atala harus mengalami semua ini? Kenapa harus adiknya?

Melihat Atala mulai memperbaiki posisi duduk, Arion paham jika itu tanda adiknya bersedia untuk makan puding buatan Arsen. Maka dengan segeraㅡsebelum nafsu makan anak itu hilang lagi, Arion mulai menyuapi Atala dengan hati-hati. Walaupun butuh waktu untuk menelan, tapi Arion dengan sabar menunggunya.

Sampai saat ini, Wisnu masih belum menemukan faktor terkuat yang menjadi alasan keberadaan kanker itu. Tapi, menurut perkiraannya, sel kanker sudah ada sejak lama. Atala mungkin sudah merasakan gejala-gejala aneh itu, tapi lebih memilih diam entah untuk alasan apa.

Walaupun masih bisa dikendalikan, tapi Wisnu mewanti-wanti Arion dan keluarga untuk lebih ekstra memperhatikan Atala. Pasalnya kanker itu tidak bisa ditebak, pertumbuhannya bahkan bisa lebih cepat daripada prediksi dokter. Wisnu hanya tidak mau Atala dan keluarga kecolongan lagi.

"Kak, Athan ... Belum ada perkembangan?"

Tangan Arion menggantung di udara saat pertanyaan itu terlontar. Perlahan, raut wajah Arion berubah sendu. Helaan napas panjang terdengar, ia bingung. Bingung bagaimana cara menjelaskan kondisi Athan sekarang, sebab ia tidak mau membebani pikiran Atala. "Adek baik-baik aja kok, kondisinya stabil," jawab Arion kemudian.

Tidak sepenuhnya bohong, tidak sepenuhnya jujur juga. Sejak kejadian drop-nya Athanㅡterhitung sudah satu bulan yang laluㅡanak itu kini berada di ruangan berbeda. Lebih steril dengan pemantauan lebih ketat. Pasalnya kini bukan hanya paru-paru anak itu saja yang lemah, jantungnya pun mulai menunjukkan pelemahanㅡefek dari terganggunya proses penyebaran oksigen dalam tubuh Athan.

Kesadaran adik bungsunya hilang timbul. Athan sempat bangun, menatap lama wajah Arion, Arsen, dan Adara. Namun, tak lama kemudian kembali memejamkan mata. Galih mengatakan itu hal yang wajar, tapi bagi Arion itu justru hal yang menyakitkan.

***

Di balik kaca besar yang menjadi pemisah, Yuan bisa melihat Athan berbaring disana dengan banyak sekali alat medis yang mengelilingi tubuhnya. Tangannya terangkat, menyentuh sekat kaca dan bergumam dalam hati, "Kenapa ... kenapa jadi kayak gini?"

Berita drop-nya Athan dan sakitnya Atala sudah tersebar di sekolah. Beberapa hari yang lalu Yuan dan teman sekelasnya datang beramai-ramai untuk menjenguk anak kembar itu, walaupun kenyataannya hanya ruanhan Atala yang dikunjungi. Yuan tidak mengerti, kenapa semuanya bisa menjadi seburuk ini. Padahal rasanya baru kemarin ia bercanda dengan Athan dan mengikrarkan janji untuk menjadi teman.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now