Papa dan Mama

2.8K 223 13
                                    

Flashback.
Atala & Athan, saat berusia 12 tahun.

***

"Athan kok bisa kambuh kayak gini sih, kak? Kamu bener gak jagain adek?"

Arion tertunduk, tidak berani untuk menatap wajah Mama yang penuh akan amarah. Ia tahu ini kesalahannya, maka dari itu Arion tidak membela diri sama sekali.

Hari ini Arion mendapat jatah libur. Namun, tidak seperti kebanyakan orang yang akan menikmati waktu senggangnya untuk beristirahat, atau melakukan hobi. Arion justru dihadapkan dengan tugas yaitu menjaga Athan sepanjang hari. Ia tidak boleh lalai, itu pesan dari Mama sebelum orang tuanya berangkat bekerja.

Arion pikir itu bukan perkara sulit, toh sebelum disibukkan dengan dunia perkuliahan, ia sudah terbiasa menemani adiknya di rumah. Namun, ternyata takdir tidak pandang seberapa siap Arion menghadapi situasi darurat. Ia merasa kecolongan.

Arion sedang berada di dapur saat guru privat Athan berlari dengan wajah pucat dan napas terengah, ada kepanikan di setiap kalimat yang terucap, memberi tahu Arion jika adiknya tidak baik-baik saja. Athan mengalami kejang, berbaring di atas karpet dengan tubuh bergetar hebat.

Ia panik. Arion belum pernah melihat Athan kambuh sampai seperti ini. Otaknya tiba-tiba menjadi lambat berfungsi, beruntung guru privat sang adik sudah berinisiatif lebih cepat menelpon ambulan. Jika hanya mengandalkan Arion, ia yakin Athan tidak akan selamat.

"Dugaan awal karena hipoksia. Oksigen gak nyampe ke otak, makanya adek kejang. Dokter udah antisipasi ini sebelumnya, makanya Papa dan Mama selalu ingetin kalian buat lebih perhatian sama adek. Adek itu rapuh, kak. Kakak tahu itu, 'kan?" Suara Papa terdengar lebih lembut.

Meskipun dokter mengatakan kondisi adiknya sudah mulai stabil, tapi perasaan bersalah itu tetap saja membelenggu Arion. Wajar jika Papa dan Mama marah dan mengatakan jika Arion kakak yang gagal, karena memang kenyataannya seperti itu. Ia tidak bisa mengelak.

Kini, di depan ruang rawat adiknya, Arion berdiri seorang diri. Papa dan Mama sudah berlalu untuk menemui dokter, sedangkan ketiga saudaranya yang lain masih dalam perjalanan. Arion bimbang. Ia ingin melihat kondisi Athan, tapi hatinya belum siapㅡdan mungkin tidak akan pernah siap.

Walaupun pada akhirnya, Arion tetap harus memberanikan diri menghadapi kenyataan. Ia harus meminta maaf pada Athan, setidaknya memberitahu anak itu jika ia benar-benar menyesal. Arion berjanji hal seperti ini tidak akan pernah terulang kembali.

***

Bunyi dari monitor bedside yang memantau kondisi vital Athan menunjukkan angka yang belum bisa dikatakan baik. Terlebih saturasi oksigen adiknya yang masih di bawah batas normal. Walaupun kini sedikit terbantu sebab ventilator mekanik terpasang apik disana.

Ada nyeri yang sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Arion tidak pernah sanggup melihat Athan berada dalam kondisi seperti ini, walaupun ini bukan yang pertama kalinya. Seharusnya Arion tahu, inilah konsekuensi memiliki adik dengan penyakit kronis.

Dengan perlahan, Arion meraih tangan Athan yang terbebas dari infus. Dingin dan nampak tidak berdaya. Arion jadi teringat momen dulu saat ia menemukan Athan kambuh di kamar, jari tangannya bahkan sudah membiru saat itu; sianosis. Arion hampir saja kehilangan kewarasannya.

"Dek ... Maafin kakak ..."

Berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis, nyatanya Arion tetap kalah. Ia menangis, apalagi saat tangannya menyentuh pipi Athan, rasa sesak kian terasa. Adiknya tengah tertidur, tapi bahkan dalam lelapnya, Athan harus berjuang ekstra untuk bernapas.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now