Semalam, Athan tidak bisa benar-benar tidur. Otaknya terus bekerja, memikirkan tentang kembarannya. Sebab ini pertama kalinya Atala mengabaikan dirinya sampai sepert ini, bahkan sesampainya mereka di sekolah, Athan seolah tidak terlihat sama sekali.
Rasanya Athan ingin menangis. Ia akui keegoisannya selama ini pasti membebani Atala, pasti membuat kakak 10 menitnya itu banyak berkorban selama ini. Tapi, demi apapun, ia tidak pernah berniat untuk menyakiti Atala. Karena sebelum semuanya serumit ini, ia pernah menghabiskan hari-hari bersama Atala dengan penuh kebahagiaan.
Namun, kini, saat Athan melihat Atala tertawa bersama teman-teman barunya, ada rasa sakit yang tertinggal di dalam dada. Ia iri, ia cemburu, atau apapun sebutannya, Athan juga ingin berada di posisi yang sama. Tapi, bagaimana mungkin? Ia terlalu menyedihkan untuk berada disana.
***
"Yuan, Kevin, dan Gilang. Benar?"
Ketiga orang yang namanya baru saja disebutkan itu refleks saling pandang. Mereka terdiam cukup lama seraya menatap seseorang yang tidak pernah mereka kira akan benar-benar datang ke tempat itu. Athan, teman sekelas sekaligus teman sekelompok itu sudah berdiri di hadapan mereka sendirian.
Saat ini mereka tengah berada di area belakang sekolahㅡyang entah bagaimana caranya disulap menjadi tempat layak untuk berkumpul. Athan berada disana bukan tanpa alasan, ia berada disana karena menganggap serius pesan yang dikirim Yuan beberapa menit yang lalu.
Awalnya Yuan berpikir Athan tidak akan menghiraukan pesan yang tertulis, "Datang aja ke belakang sekolah, kita kerjain tugas kelompok disana." itu, seperti anak-anak lain karena alasan takut. Tapi, ternyata anak itu tetap datang kesana seorang diri. Membuat Yuan jadi tidak sampai hati untuk mengusir.
"Lo gak takut?" Tanya Yuan. Ia sejenak memindai Athan dari atas sampai bawah, hingga pandangannya jatuh pada tas oksigen konsentrator yang Athan bawa—tersambung dengan nasal kanul yang melintang di bawah hidungnya. "Padahal tempat ini jauh dari kriteria aman buat lo datengin."
Athan menggeleng, "Semua tempat sekarang udah gak aman buat aku, jadi apa bedanya disini dan di tempat lain?"
Sejujurnya Yuan dan kedua temannya itu tidak mengerti maksud ucapan Athan, namun melihat anak itu mulai membuka buku pegangan dan laptopnya, mereka tanpa sadar memperbaiki posisi duduk. Entahlah, "kerja kelompok" yang tidak direncanakan itu, tiba-tiba berjalan begitu saja.
Mungkin ini adalah momen langka melihat Yuan, Kevin, dan Gilang turut masuk dalam diskusi bersama Athan. Siapa sangka? Yuan awalnya berniat menyerahkan semua tugas itu untuk dikerjakan laki-laki bertubuh kurus didepannya seorang diri, tapi kini ia justru menjadi orang paling serius mendengarkan penjelasan Athan mengenai tugas yang mereka miliki. Termasuk Kevin dan Gilang yang sesekali memberikan pendapat atau sekadar mencari bahan untuk isi makalah.
Hingga tanpa sadar jam kosong yang biasanya digunakan Yuan untuk merokok dan bersantai ria di tempat itu, kini diisi oleh kegiatan positifㅡmengerjakan 70% dari keseluruhan tugas kelompok. Benar-benar dikerjakan secara kelompok. Sekali lagi, ini adalah kejadian yang sangat langka.
"Sisanya gimana?" Suara Yuan tiba-tiba terdengar di sela kegiatan Athan membereskan barang bawaannya.
"Tinggal powerpoint, biar sama aku aja."
Yuan hanya mengangguk kecil. Ia tak bisa berhenti menatap Athan, bahkan terus mengikuti kemana anak itu mulai melangkah pergi dan menghilang di balik dinding. Entah mengapa, suaranya bahkan otomatis berubah menjadi lebih lembut saat berhadapan dengan Athan.
Kevin dan Gilang yang duduk disampingnya juga merasakan perbedaan dari "Ketua" mereka itu, dan semakin dibuat bingung saat Yuan mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku celanaㅡbersama dengan pemantiknya. "Gue pikir rokok lo udah habis."
YOU ARE READING
Growing Pain: Breathless
FanfictionHanya cerita sederhana tentang anak laki-laki berusia 15 tahun dan keempat kakak yang menjaganya dengan penuh perjuangan, sebab ia rapuh; jiwanya bisa hilang kapan saja.