Berkorban (lagi)

3.1K 298 52
                                    

Walaupun terlahir lebih sehat daripada adik kembarnya, bukan berarti Atala tidak bisa sakit.

Saat masih kecil, setiap kali ia mengeluh pusing dan demam, Mama dan Papa hanya akan membelikan obat lalu meminta Atala untuk beristirahat. Hanya itu. Tak jarang juga ia hadapi rasa sakit pada tubuhnya seorang diri, disaat adiknya mendapatkan semua yang ia butuhkan.

Atala tidak masalah, sungguh, ia mengerti kenapa semua orang menaruh perhatian lebih pada Athan. Karena adiknya memang membutuhkan itu dan ia harus bisa memakluminya. Memaksa Atala untuk memendam rasa iri itu demi kebaikan Athan.

Saat masih bayi, dokter mengatakan ada kelainan bawaan yang menimpa Athan. Awalnya masih bisa dikendalikan, tapi saat umur si bungsu menginjak usia 5 tahun, ia ditemukan tak sadarkan diri dan sempat mengalami gagal napas. Paru-parunya kolaps.

Sejak kabar buruk itu sampai di telinganya, Atala sudah menduga jika setelah ini ia akan semakin terlupakan. Mama dan Papa pasti akan menyerahkan seluruh perhatian dan waktu mereka untuk Athan. Atala mencoba untuk mengerti, tapi kenapa sulit sekali?

***

"Atala baik-baik saja. Dokter bilang dia kelelahan dan terlalu memforsir tubuh, makanya dia mimisan hebat kemarin. Adek tahu sendiri 'kan sekarang Atala mulai aktif ikut pertandingan olahraga," jelas Arion pada pada Athan yang kini tengah duduk bersandar.

Ada sedikit kelegaan dalam hati Athan, tapi ia tetap tidak bisa sepenuhnya tenang karena Arion melarangnya untuk menemui Atala. Katanya mereka sama-sama sakit, jadi biarlah untuk beberapa hari ini si kembar dipisahkan terlebih dahulu.

Di atas ranjang pesakitannya, Athan hanya bisa menurut dan tak bisa banyak melawan. Tubuhnya masih sangat lemah, efek kambuh yang turut mengantarkannya menjadi pasien disana. Athan sempat merengut, ia merasa benar-benar payah.

"Kak ... kak Adara dan kak Arsen dimana?"

Arion yang sedang sibuk mengupas buah apel itu sejenak menghentikan aktivitasnya. "Kak Adara ada di kamar Atala, kalau Arsen tadi izin buat ke kampus dulu."

"Kak, tolong panggilin kak Adara kesini ..."

"Kenapa? Kamu mau ditemenin sama kak Adara aja?"

Athan menggeleng pelan. "Sama kalian berdua, aku mau ditemenin sama kak Arion dan kak Adara juga."

Pisau di tangan Arion dan potongan apel yang telah dikupas itu kini disimpan di atas meja nakas. Perlahan tangannya terulur untuk mengusap rambut Athan. "Dek, kalau dua-duanya disini, yang nemenin Atala siapa? 'Kan Atala juga lagi sakit."

"Kakak bilang kondisi Atala baik-baik aja, 'kan? Berarti dia bisa ditinggal sendirian, 'kan? Lagipula ada suster yang bisa nemenin." Athan terdiam beberapa saat, tiba-tiba ada genangan air di kelopak matanya. "Kalau aku 'kan sekarat, kak. Apa permintaan aku salah?"

"Hei! Jangan ngomong begitu!" Arion dengan cepat menyanggah. "Adek juga baik-baik aja kok, sebentar lagi juga sembuh. Kakak gak suka ya kamu ngomong kayak gitu. Kamu, Atala, dan kita semua pasti berumur panjang." Lanjutnya. Arion tanpa sadar meninggikan suara karena sangat tidak menyukai ucapan adiknya.

Athan tidak mengatakan apapun lagi. Tapi, ia tiba-tiba menangis. Perubahan emosi seperti itu jelas saja membuat monitor bedside menunjukkan peningkatan, khususnya pada saturasi oksigen, Athan mulai bernapas cepat dan itu bukanlah hal yang baik.

Meskipun tidak dalam waktu shift-nya, tapi sebagai tenaga medis yang juga keluarga kandung dari pasien, Arion segera memberikan penanganan. Ia sempat memberi intruksi agar Athan bernapas dengan teknik pernapasan yang penah diajarkan.

Namun, karena tak kunjung membaik, Arion terpaksa mengganti alat bantu napas adiknya menjadi sungkup, lalu menaikkan liter oksigen. Beruntung sesak yang menyerang Athan tidak berlangsung lama, meskipun kini anak itu terbaring lemah tanpa tenaga.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now