Malam Yang Panjang

2.6K 226 29
                                    

Rasanya masih seperti mimpi. Atala tidak tahu harus bahagia atau sedih saat satu persatu harapan yang dulu ia kubur dalam-dalam, kini bisa ia dapatkan. Atala jadi berpikir, apakah ini karena ia sekarang sakit parah? Jika iya, haruskah Atala berada dalam kondisi sekarat terlebih dahulu untuk mengetahui rasanya dipedulikan oleh keluarga sendiri?

Sore tadi ia sudah melakukan video call bersama Adara. Mungkin terdengar aneh, tapi itu adalah pertama kalinya bagi Atala. Adara terus menanyakan perihal kondisinya, tentang apa yang anak itu lakukan, dan apa yang anak itu rasakan. Anehnya, daripada merasa risih dengan semua pertanyaan itu, Atala justru merasa senang. Karena sebelumnya, ia tidak pernah mendapatkan bentuk rasa peduli semacam itu.

"Setelah ini minum obat, terus lanjut tidur. Kak Iyon masih ada shift malam ini," ucap Arion sembari melipat kembali overbed table setelah acara makan malam telah selesai. Sebenarnya Atala masih mampu menggunakan kedua tangannya, tapi Arion tetap memaksa untuk menyuapi sang adik. Katanya agar makanan yang masuk bisa lebih terpantau.

Sejenak Atala menghela napas, kakaknya itu sejak dulu selalu protektif, bukan hanya kepada dirinya, tapi kepada semua saudaranya. Arion juga peka, ia tahu penyakit yang diderita Atala sekarang menghantarkan rasa mual yang tak berkesudahan. Sulit anak itu untuk kembali menemukan nafsu makannya, jadi Arion bertekad untuk memantau sendiri asupan bagi Atala sampai adiknya diizinkan untuk rawat jalan.

"Adek gak makan, kak?" Atala melirik ke arah bed Athan dan melihat adiknya sudah jatuh tertidur, kepala Athan bahkan sudah terkulaiㅡseolah menandakan sang adik begitu nyenyak dalam lelapnya.

"Karena saturasi oksigen adek masih rendah, jadi adek harus pake masker oksigen dulu, dan untuk asupan nutrisi, dokter Galih udah pasangin NGT." Arion menjelaskan dengan tangan yang sibuk mempersiapkan obat-obatan milik Atala.

"Pasti adek ngerasa gak nyaman ..."

Arion tersenyum melihat wajah murung Atala. Terlihat lucu dimatanya, sejak dulu tatapan itu tak pernah berubah, bahkan disaat Atala seharusnya mengkhawatirkan diri sendiri. Dengan sebelah tangan siap memegang segelas air, Arion mulai membantu Atala meminum obat.

"Dah, selesai, pinter!" Arion mengusap lembut rambut Atala, "Kakak keluar dulu, ya? Kamu langsung istirahat aja, nanti kakakㅡ"

Belum sempat Arion menuntaskan ucapannya, suara dari bedside monitor di sebelah bed Athan terdengar berbunyi nyaring. Sinyal peringatan adanya perubahan pada organ vital Athan mulai memekakkan telinga, tampak warna merah muncul pada layar monitor. Arion lekas bergerak mendekat, menekan berkali-kali tombol nurse call dengan panik.

"Adek?! Athan?!" Arion lekas menangkup pipi Athan yang sudah terkulai lemah dan tak terusik sama sekali. Mata itu sudah terpejam erat dan Arion semakin dibuat panik saat panggilannya tak kunjung mendapat respon. Athan tidak mau bangun. "Adek! Jangan buat kakak takut, dek!"

Semua kewarasan Arion seolah hilang entah kemana, laki-laki itu bahkan tidak menolak saat tubuhnya ditarik mundur oleh perawat yang datang bersama dokter Galih. Galih segera mengambil alih tubuh tak berdaya Athan, masker oksigennya dilepas, kemudian digantikan dengan ambubag.

"Pasien mengalami VT, dok," ucap salah satu perawat.

Arion yang mendengarnya tentu mengetahui semua itu, namun tubuhnya terlalu lemas untuk bergerak dan ikut dalam proses penanganan. Tangannya mengepal kuat, Arion tak peduli jika bibirnya akan berdarah sebab ia menggigitnya begitu dalam. Jantungnya berpacu cepat seiring dengan alat defibrilasi didorong mendekati bed.

Kancing bagian atas piyama yang Athan kenakan dibuka, dada bidangnya terekspos setelahnya. Seorang dokterㅡyang turut hadir disana bersama Galih mulai melakukan resusitasi. Suara gaduh dari monitor masih terdengar dan kini bersahutan dengan suara dari alat kejut jantung saat menyentuh permukaan dada Athan.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now