Atala tidak tahu mengapa langit mendung pagi ini, padahal kemarin panas matahari membuat kulitnya memerah. Ia bisa melihat gumpalan awan berwarna abu-abu itu di atas kepalanya, seolah siap menjatuhkan jutaan rintik air hujan kapan saja.
Kursi roda yang Atala gunakan didorong perlahan oleh Arsen. Adara yang memimpin jalan, sedangkan Arion berdiri di sebelahnya. Tak ada yang bersuara, satu-satunya yang memecah keheningan hanya gesekan dari sepatu pada daun-daun yang sudah berjatuhan.
Sesak, entah mengapa Atala merasa sesak. Semakin ia dibawa masuk lebih dalam, semakin jauh oksigen untuk diraihnya. Tak ada yang salah dari tubuhnya, dokter bilang ia sudah cukup kuat untuk berada di luar Rumah Sakit. Tapi, mengapa sekarang tubuhnya terasa tak nyaman? Seolah-olah sesuatu yang menyakitkan akan segera menghampirinya.
Atala termangu cukup lama. Mereka berempat akhirnya sampai di titik tujuan. Tepat di bawah pohon cempaka yang belum terlalu tinggi, sebuah gundukan tanah yang masih baru itu berada. Tampak rapi dan terawat, padahal di rumah yang lain, daun-daun memenuhi bagian atas dan berserakan.
Setelah Arsen menempatkan kursi rodanya di sisi kiri, Adara berjongkok di sampingnya, lalu Arsen dan Arion ada di sisi lain. Benar, posisi ini persis seperti yang sering mereka lakukan kala menemani si bungsu tertidur. Biasanya si bungsu akan marah karena merasa terganggu dengan semua tatapan khawatir kakak-kakaknya, tapi kini tak akan ada lagi yang melayangkan protes.
Tanpa meminta bantuan Adara, Atala bergerak untuk turun dari kursi roda dengan sendirinya. Lagipula ia tidak lumpuh, ia hanya terlalu lemas untuk berdiri di atas kaki sendiri. Apalagi setelah melihat kenyataan di depan matanya saat ini, rasanya seluruh kekuatan dalam diri Atala menguap begitu saja.
Ternyata inilah penyebab rasa sesak yang sedari tadi Atala rasakan, inilah alasan dibalik kegelisahannya.
"Jadi ..." Tangannya terulur untuk menyentuh batu nisan bertuliskan nama seseorang, lalu Atala mengusapnya dengan perlahan. "Ini rumah baru adek, ya?" Lanjutnya diakhiri dengan senyum sendu.
Tak ada yang menyahuti ucapan Atala, semuanya sibuk bergelut dengan rasa sedih masing-masing. Apalagi Adara, wanita itu sudah menumpahkan air matanya. Isakan kecil terdengar seperti melodi yang menyayat hati. Luka yang sedang diobati, seolah kembali berdarah. Rasanya sakit sekali, benar-benar sakit.
Sekali lagi Atala mengusapkan jari telunjuknya pada batu nisan. Senyum sedih kembali terpancar kala ia menyentuh ukiran tanggal lahirㅡyang sekaligus menjadi tanggal kepergian sang adik kembaran. Takdir seolah ingin membuatnya bimbang untuk merayakan hari kelahiran di tahun berikutnya dengan penuh suka cita atau digerayangi oleh duka yang tiada habisnya.
Hari dimana Atala dan Athan lahir ke dunia sebagai anak kembar, lalu tepat 16 tahun kemudian Athan meninggalkan dunia tanpa sempat mencicipi satu hari di usianya yang baru. Atala mengerti jika adiknya sudah tak sakit lagi, tapi egoiskah Atala jika berharap Athan masih ada di sampingnya saat ini dan menertawakan setiap tetes air matanya yang jatuh?
Bukankah selama ini Atala pandai menahan diri dan berpura-pura kuat? Tapi mengapa ia menjadi begitu lemah, payah, cengeng, dan rapuh saat di hadapan Athan? Kemana perginya semua bakat itu? Kemana perginya semua topeng yang selama ini Atala miliki? Kenapa ia tidak bisa berpura-pura sebentar saja?
Sungguh, Atala tidak mau Athan melihatnya selemah ini.
"Aku terus mikirin ini sejak dulu." Atala bergumam. "Kenapa cuma kamu yang sakit? Kenapa cuma kamu yang aktivitasnya terbatas? Kenapa cuma kamu yang harus minum obat? Kenapa cuma kamu yang harus pake alat bantu napas? Kenapa cuma kamu ... yang mati?"
"Padahal 'kan kita kembar." Sambung Atala.
Seiring dengan air matanya yang kembali menetes, langit pun seolah turut merasakan kesedihan yang sama. Gumpalan tadi akhirnya pecah juga. Arsen yang bergerak lebih cepat, membuka payung yang memang sudah mereka siapkan sejak awal.
![](https://img.wattpad.com/cover/355398398-288-k915493.jpg)
YOU ARE READING
Growing Pain: Breathless
FanfictionHanya cerita sederhana tentang anak laki-laki berusia 15 tahun dan keempat kakak yang menjaganya dengan penuh perjuangan, sebab ia rapuh; jiwanya bisa hilang kapan saja.