Judul : My Heaven
Genre : Keluarga dan perjalanan waktu
Episode : Lengkap
Jennie kesal karena Ibunya selalu memaksa hadir di peringatan kematian sang Bibi, sekalipun tak mengenalnya dengan baik.
Hingga suatu hari Jennie yang tak sengaja bertemu de...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁
Suster memimpin, dan Irene mengikuti di belakang. Mereka memasuki ruangan khusus para bayi yang baru saja lahir. Tiba di sudut ruangan, pada kotak yang paling besar dan menonjol. Itu inkubator tempat si kecil, keponakannya yang membutuhkan penanganan khusus sebab terlahir prematur.
"Silahkan..." Suster memberi waktu bagi Irene bertemu dengan keponakannya, barangkali dengan masih memiliki ikatan darah dengan Jisoo, Irene dapat menenangkan bayi itu yang sejak diletakkan di inkubator, menangis kencang.
Irene memasukkan tangan, mengelus pucuk kepala keponakannya yang masih begitu kecil tetapi bahkan sudah tidak memiliki orang tua. Memikirkan itu kembali membuat Irene menjatuhkan air mata, menangis dalam diam, berusaha tidak bersuara sehingga tidak menganggu keponakannya, dan bayi-bayi lain.
Teringat pesan Jisoo terakhir kali sebelum menutup mata di meja operasi, beberapa saat yang lalu. "Jennie, tolong sematkan nama itu kepada anakku, Unnie!"
Irene mengangguk-anggukkan kepala, dia akan menuruti permintaan sang adik kesayangannya. Menyematkan nama itu untuk si kecil. "Hai, Jennie."
Sekali lagi Irene mengingat pesan Jisoo, permintaan yang paling menyakitkan bagi Irene sebab begitu mahal harganya. "Aku titip anakku, maaf merepotkan."
Tuhan dengan kejam telah merenggut anaknya sendiri lewat kecelakaan mobil itu, membuat dunia terasa sia-sia sebab kehilangan sosok yang kehadirannya ditunggu setelah sekian tahun tak kunjung hamil. Tetapi, seakan menghibur perasaannya yang menjerit sedih tiap malam, tuhan menggantinya dengan dengan kehadiran keponakannya yang kehilangan Ibunya di meja operasi. Mereka berdua mirip, sama-sama kehilangan.
"Jennie, jangan takut, kau tidak sendirian. Ada aku, aku akan menjadi Ibu bagimu. Merawatamu seperti anak kandungku sendiri."
Tidak berselang lama, tangis Jennie kecil terhenti, jari-jemarinya yang mungil menggenggam erat jari telunjuk Irene. Membuat sang empu tersenyum di sela-sela hujan air matanya.
"Panggil aku, Eomma..."
🍁🍁🍁
Sedangkan, di ruangan sebelah, kamar jenazah. Saat tidak ada siapapun, Irene sedang menjenguk Jennie kecil---dirinya. Suho yang mengurus surat kematian Jisoo, lalu Rose dan Lisa sibuk mempersiapkan upacara kematian Jisoo.
Terdengar di penjuru kamar jenazah itu, betapa Jennie menangis meratap pilu, menggenggam tangan Jisoo yang sudah terasa dingin, tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Jisoo yang kini terbaring di atas brankar, ditutupi seluruh tubuh oleh kain putih, dari ujung kaki hingga leher, menyisahkan bagian wajah pucatnya saja. Sungguh pemandangan yang menyayat hati sekali.
"Jisoo..."
"Jisoo..."
"Jisoo Eomma..." Bahkan meski berkali-kali Jennie memanggil nama ibunya, menciumi punggung tangan itu. Si pemilik nama tidak jua menjawab, tak kunjung menenangkan dirinya, mengucapkan kata-kata indah untuk memperbaiki perasaannya. Jisoo justru tetap terlepap dalam pejaman mata.