O1 ; ένα

157 9 0
                                    


Ruley mengerjap, tubuhnya terasa begitu lemas. Aroma lumut menguar kuat membelai penciumannya. Hawa dingin yang tajam menusuk setiap inci kulitnya. Tubuhnya gemetar lemah, kedua kelopak matanya masih berjuang untuk menampakkan sepasang iris gelap yang mengintip. Rambut hitam gelap yang acak-acakan menghiasi kepalanya, debu dan kotoran turut menempel di setiap kulit dan rambutnya.

Gadis itu mendesah lirih, kepalanya terasa begitu menyakitkan ketika berusaha mengingat apapun tentang dirinya. Hanya namanya yang dapat ia ingat tanpa perjuangan. Meskipun begitu, dirinya sadar bahwa dirinya tak lagi berada di dunianya. Kelopak matanya mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan kegelapan di sekelilingnya. Kedua tangannya tertarik, menempel kuat di dinding batu belakangnya.

Hembusan napas miliknya sendiri cepat menyapu pendengarannya. Ruley berkaca-kaca, perutnya terasa kosong dan ngilu, ia rasa sebuah lebam menempel di kulitnya. Lehernya terasa ngilu, seakan-akan ia baru saja selamat dari gantung diri. Iris gelapnya melirik sekitar, memandang obor yang menempel di dinding sebagai satu-satunya media penerangan.

Ruley menghembuskan napasnya dengan lembut agar tak terlalu menggerakkan tulang-tulangnya yang berderak. Gadis itu menelan ludah, membayangkan bangunan yang terbuat dari bebatuan tempatnya berada. Obor dan batu, bukankah dua hal ini sangat erat kaitannya dengan masa lampau?

Kepalanya ia gelengkan pelan, semoga saja bukan masa lampau. Lantas, apa era dunia asing yang kini ia singgahi?

Memutar otaknya, Ruley merasa sedikit aneh karena satu demi satu adegan novel atau film yang kemungkinan pernah ia saksikan waktu di dunianya begitu mudah muncul di pikirannya. Menyaring dari novel-novel dan film dari otaknya, kemungkinan besar dunia tempatnya berada merupakan dunia dengan era kerajaan dan mungkin... sihir?

Ruley memandang jeruji besi lima langkah di depannya, membayangkan sihir apa yang kemungkinan besar menarik jiwanya ke dunia asing ini. Mungkinkah sihir hitam?

Menelan ludahnya, Ruley memutuskan untuk menutup kedua kelopak matanya. Sayup-sayup ia merasakan keberadaan seseorang dengan jubah hitam muncul di seberang jerujinya sebelum kantuk dan kegelapan menguasainya. 


"Tuan, jiwa gadis yang anda inginkan telah berada di wadah!"


-;-


Sebelah kaki ia lipat dan letakkan di atas kaki kanannya, tangan kiri menopang pipinya, sementara tangan kanannya mengetuk meja di sebelah kursi tempatnya berada. Sorot mata tajamnya menatap sosok berjubah hitam, pengusik tidurnya malam-malam dengan laporan yang ia tunggu-tunggu sejak memulai ritual.

"Maksudmu, dia sudah ada di dalam wadah?" Tanyanya, memastikan. Tak ingin mengecewakan tuannya, si tua jubah hitam membungkukkan tubuh lebih dalam. "Benar tuanku, saya berani bersumpah atas nyawa saya sendiri." 

Rambut peraknya yang cukup panjang melambai tertiup angin malam yang masuk tanpa sopan santun karena jendela di kamarnya yang sengaja tak ia tutup sepenuhnya. Senyum aneh terlukis di wajah sang tuan, membawa hawa dingin pada si tua berjubah hitam. Kekehan serak terdengar mengerikan di tengah malam yang temaram.

"Menurutmu, kapan aku bisa menemuinya, hm?" 

Si tua berjubah hitam terlihat berpikir dengan kernyitan di dahinya, belah bibir keriputnya sibuk menggumamkan sesuatu sementara sang tuan dengan setia menunggu dengan memainkan pisau yang entah kapan telah berada di jangkauan jemari kanannya. Menyadari ancaman tak langsung dari sang tuan, si tua berjubah hitam berdeham gugup.

"B-Besok malam tuanku, besok malam anda baru dapat melihatnya atau jiwanya akan mengalami perpecahan akibat terbentur dengan sisi gelap jiwa tuan."

Jawaban yang benar namun tak memuaskan sang tuan. Pemuda berambut perak itu berdecak, rasa kesal mengarungi hatinya, membuat aura hitam mencekik menguar dari tubuh tegapnya. Merasa terintimindasi, si tua berjubah hitam membanting tubuhnya ke lantai, bersujud dengan dahi dibenturkan.


Prisoner and The PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang